Jakarta (pilar.id) – Dalam sebuah diskusi mengenai Demokrasi dan Peradaban serta dalam acara penganugerahan Dignity Award, Rocky Gerung menyampaikan keprihatinannya terhadap keadaan demokrasi di Indonesia.
Acara tersebut diselenggarakan atas kerjasama antara Institut Peradaban dan Universitas Paramadina, yang berlangsung di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, pada hari Senin (6/11/2023) lalu.
Rocky Gerung mengawali pidatonya dengan menyoroti realitas yang terjadi di Indonesia. Dia mencatat bahwa setiap malam, baliho Ketua PSI dipasang, sementara pada malam yang sama, 17 juta warga Indonesia tidur dalam keadaan lapar, sesuai dengan statistik global.
Indonesia menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi, dengan tingkat kelaparan tertinggi di Asia, di mana 17 juta orang mengalami kekurangan pangan setiap malam.
Rocky juga menyoroti bahwa kesejahteraan masyarakat di Indonesia menjadi sangat penting dalam menjalankan demokrasi. Ia merasa bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak aspek dalam pelaksanaan demokrasi telah terabaikan. Ia merujuk pada konstitusi yang seharusnya mencerminkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan merawat fakir miskin.
Rocky juga mengkritik tindakan pemerintah, termasuk Presiden Jokowi, yang menurutnya telah gagal untuk mengatasi masalah kemiskinan dan lapar. Ia menyoroti pentingnya menjaga martabat sebagai bangsa, yang tidak sepenuhnya diwujudkan dalam konteks demokrasi saat ini.
Dalam diskusi tersebut, Rocky juga menegaskan bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem demokrasi di Indonesia. Ia mengungkapkan keprihatinannya bahwa banyak orang yang memiliki pemahaman tentang nilai-nilai demokrasi dan tugas-tugas demokratis selama 9 tahun terakhir tampaknya tidak bereaksi terhadap kondisi yang ada. Ia berpendapat bahwa selama waktu itu, orang-orang mungkin telah “membeli kucing dalam karung.”
Rocky menggarisbawahi bahwa tidak ada upaya yang cukup untuk menghasilkan “dignity” atau martabat sebagai bangsa. Ia merasa bahwa dalam suasana pascakepresidenan Jokowi, tidak ada fasilitas yang memadai dalam kerangka pemikiran kita yang dapat mendukung harapan akan adanya martabat.
Dia juga mengusulkan bahwa untuk mencapai perubahan radikal, perlu ada pembatalan total terhadap prosedur demokrasi saat ini, yang menurutnya telah digunakan untuk memperpanjang masa kepemimpinan Jokowi. Ia berpendapat bahwa prosedur-prosedur ini harus dibatalkan terlebih dahulu sehingga pemimpin lain seperti Anies Baswedan dan Prabowo Subianto dapat membawa perubahan yang diinginkan.
Acara tersebut juga mencakup pandangan dari beberapa tokoh, termasuk Prof. Dr. Salim H. Said, yang menyatakan bahwa perubahan dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia telah menjadi semakin jelas selama beberapa tahun terakhir. Ia menekankan pentingnya menghidupkan prinsip check and balances dalam sistem demokrasi.
Pada akhir acara, Dignity Award diberikan kepada Dr. (HC) KP Jaya Suprana. Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas peran Jaya Suprana sebagai tokoh pluralis yang terus berjuang untuk memajukan peradaban bangsa. Dalam sambutannya, Jaya Suprana mengungkapkan bahwa peradaban sesungguhnya tidak dapat diwujudkan oleh semua orang, dan ia menghargai upaya Prof. Salim H. Said dalam membangun peradaban yang lebih baik. (hdl)