Yogyakarta (pilar.id) – Menjadi dalang mungkin bukan pilihan pekerjaan populer bagi banyak orang. Terlebih, minimnya minat menonton pementasan wayang, khususnya bagi generasi muda. Namun hal tersebut tak berlaku bagi Marsono, dalang sekaligus pembuat wayang lidi atau sada dalam Bahasa Jawa.
Melalui tangan terampil Marsono, sehimpun lidi diubahnya menjadi sebuah wayang. Di usia yang tak lagi muda, ia tetap gigih melestarikan kesenian yang kini semakin ditinggal penontonnya.
Kecintaan Marsono akan wayang tumbuh sejak ia kecil. Ia sempat bercita-cita masuk sekolah dalang demi mewujudkan impiannya.
“Jaman kecilku dulu itu, sambil angon kerbau buat wayang dari rumput. Kalau sudah jadi, dibuat ndalang,” kenang Marsono.
Sebelum membuat wayang dari lidi, Marsono memang kerap menggunakan rumput sebagai bahan dasar pembuatan wayang. Namun, rumput dinilai bukan bahan dasar yang cocok bagi pembuatan wayang, karena strukturnya yang mudah putus dan tak awet ketika sudah kering.
Ketika dijumpai awak pilar.id, Marsono mengaku menemukan ide membuat wayang sada muncul 11 tahun silam. Kala itu Marsono sedang mengajar anak-anak yatim di desanya untuk membuat keterampilan wayang di pinggiran sungai tempat Marsono tinggal.
“Tau-tau ada blarak (daun kelapa kering, red) tergeletak di pinggir sungai. Terus saya terpikir, ini pasti jawabannya yang tak angan-angan dari dulu,” ujarnya. Sejak saat itulah cerita Marsono sebagai pembuat wayang sada sekaligus dalang dimulai.
Lidi sebenarnya bukan barang langka bagi Marsono. Bahan baku tersebut jamak ia temui di sekitar rumahnya. Daerah Bejiharjo, Gunung Kidul, tempat Marsono tinggal, merupakan daerah perbukitan yang subur akan pohon kelapa.
Pembuatan wayang sada menurut Marsono umumnya menggunakan lidi yang masih muda dan berwarna hijau. Musababnya, lidi tersebut cenderung lebih mudah dibentuk dan tak gampang putus.
“Yang bagus itu kelapa gading, lemas dan mudah ditekuk-tekuk,” ujar Marsono sembari mempraktikkan pembuatan wayang sada.
Kini berkat wayang sada yang Marsono buat, ia beberapa kali diminta mengisi di sebuah panggung hajatan atau acara festival tertentu.
Dalam sekali pentas ia bisa mengantongi upah dua hingga tiga juta rupiah. Upah tersebut lantas ia bagi dengan sepuluh orang yang biasa menemani Marsono, diantaranya dua sinden dan sisanya para pengrawit.
Uniknya, di setiap pementasan yang Marsono jalani, ia juga membawakan cerita wayang yang ia tulis sendiri. Salah satu ceritanya, berjudul Jejer Negara Karangluas. Dimana dalam cerita tersebut, setiap nama karakter memiliki unsur pohon kelapa. Seperti, Prabu Glugu Wasesa dan Patih Blarak Sempal.
Terakhir terdengar kabar bahwa wayang sada buatan Marsono masuk dalam daftar koleksi Museum Wayang Mojokerto. Hal tersebut membuat bangga Marsono beserta keluarga. Berkat kegigihannya melestarikan wayang, ia juga menjadi kebanggaan bagi masyarakat Gunung Kidul. (fir/hdl)