Surabaya (pilar.id) – Bunyi besi beradu dengan palu yang dipukul keras membentuk ritme dentingan yang berirama. Memenuhi ruang sebuah bengkel produksi perkakas di kawasan Jagir Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur.
Sejenak Sukardi mengangkat lonjoran besi dari tumpukan api yang menyala. Sementara tangan kanannya kokoh mengayun palu besar tepat ke ujung besi yang masih membara. Menempanya, membentuk jadi lebih pipih.
Lelaki paruh baya ini, sudah puluhan tahun melakoni profesi sebagai pandai atau pande besi, . Berasal dari Jombang, yang sebagian warga kampungnya menjadi empu penempa batangan besi menjadi alat siap guna.
Sesekali besi direndam dalam air untuk menurunkan suhu. “Agar besi juga makin kuat,” celetuknya. Hari itu ia sedang mengerjakan pleser, alat pertukangan pembengkok besi cor untuk bahan bangunan.
Berbagi ruangan yang sama, Rofiq, rekan pande lainnya, juga sibuk memainkan gerinda. Mengasah pisau setengah jadi di genggaman, sesekali penglihatannya awas membolak-balik dua sisi mata pisau, lalu menajamkan di satu sisinya.
Bunyi desirnya menyatu dengan irama palu Sukardi yang berdentang. Sangat semarak. Sesekali mereka menghentikan iramanya jika ada calon pembeli memasuki bengkel mereka.
Bengkel pande itu memang difungsikan juga sebagai etalase yang memajang hasil jadi produksinya. Sudah puluhan tahun mereka bertahan menempa besi sekaligus menjual perkakas di lokasi tersebut. Tak ingat kapan mulainya, yang pasti sudah temurun dari orang tua mereka.
Sementara pada jaman dahulu para empu membuat senjata keris, golok atau parang, pande besi kini bertahan dengan memproduksi alat pertukangan, seperti cangkul, arit, atau linggis. Juga pisau dapur berbagai fungsi dan ukuran. (ton/hdl)