Surabaya (pilar.id) – Menyusul pernyataan Kaesang Pangarep yang tertarik untuk terjun ke dunia politik, isu dinasti politik keluarga Presiden RI Joko Widodo pun mencuat. Padahal di beberapa kesempatan, Kaesang mengaku tidak tertarik untuk menerjuni dunia politik.
Menanggapi fenoman ini, pengamat politik Universitas Airlangga, Kalimah Wasis Lestari SIP MSc, mengatakan jika ini bukan hal yang istimewa. Karena ia percaya, setiap orang dapat berubah pikiran seiring perjalanan waktu. Apalagi ketika melihat peluang yang terbuka lebar.
“Pemberitaan ini bukan hal yang mengejutkan lagi, ya. Karena Kaesang memang memiliki nilai tawar terhadap partai pemilu, salah satunya karena dia memiliki popularitas,” kata Kalimah.
Kalimah juga melihat kecenderungan pelebaran dinasti politik di keluarga Jokowi, sudah terjadi sebelumnya Seperti yang dialami Gibran Rakabuming Raka, Bobby Nasution, hingga adik ipar Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
“Itu bisa mengarah seperti apa yang terjadi pada Soeharto. Untungnya, saat ini ada pembatasan masa jabatan, yaitu dua periode. Maka, masa jabatan ini perlu kita kawal, jangan sampai ada penambahan periode yang bisa menambah peluang pelanggengan kekuasaan,” terangnya.
Meski demikian, kata Kalimah, dinasti politik sejatinya bukan hal yang baik. Kondisi ini dapat menutup kesempatan bagi warga lain yang bisa jadi memiliki kemampuan yang jauh lebih baik, namun tidak dapat menjabat karena tertutup dinasti tersebut.
Tidak hanya di ranah eksekutif, dinasti politik juga menjalar di ranah legislatif. Lebih parah lagi, dinasti politik juga membuka peluang terjadinya manipulasi politik, sehingga memperbesar peluang hingga menjamin kemenangan dari dinasti tersebut.
“Demokrasi itu kan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu, pemilu dibentuk sebagai sarana terjadi pergantian kepemimpinan, ya, guna mencegah kelompok kecil yang memiliki kuasa besar,” tambah Kalimah.
Untuk itu, lanjut dia, peran partai politik sebagai pintu masuk dalam pemilihan harusnya memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi itu sendiri, salah satunya mencegah dinasti politik tersebut.
Parpol, kata Kalimah lagi, diharap mampu bertingkah objektif sesuai kapabilitas ketika memilih kandidat, bukan melihat popularitas dan koneksi kepada penguasa.
Menurutnya, tidak semua kandidat yang memiliki kedekatan dengan dinasti politik dapat menang. Dari itu, masyarakat harus jeli siapa kandidat yang akan dipilih, apalagi di era media sosial.
Kemampuan berpikir kritis akan diuji Ketika berita itu hadir, apalagi, keberadaan buzzer sering membuat bias pendapat yang ada.
“Jangan hanya terhanyut pada pendapat popular, misalnya ada satu postingan, biasanya ada pendapat, oh iya bagus, dan kita menganggap memang bagus. Biasakan cerdas dalam digital literasi, gunakan smartphone anda untuk mencari data yang valid,” tandas Kalimah. (usm/hdl)