Suatu hari di Stadion Anfield. Pertandingan usai. Sejumlah fans Liverpool melambaikan kertas dan pena kepada pemain-pemain Manchester United. Beberapa pemain United menandatanganinya, dan seorang fans Liverpool merobek kertas itu di hadapan mereka.
Saya tidak tahu bagaimana reaksi pemain-pemain United. Lebih tepatnya saya belum pernah membaca berita ada seorang fans Liverpool dijotos, hanya gara-gara merobek kertas yang baru saja ditandatangani pemain United. Tapi merobek kertas itu seperti mengulangi klise ‘menabur garam di atas luka’.
Hari itu, 26 April 1992, dua gol Ian Rush dan Mark Walters merontokkan harapan Manchester United untuk menjadi juara Liga Inggris untuk pertama kalinya sejak musim 1966-1967. Mereka tercecer di posisi kedua dengan selisih empat angka dari sang juara Leeds United.
Alex Ferguson, manajer yang pemberang itu, melihat bagaimana anak-anaknya dipermalukan. “Sekarang kalian tahu, ini semua tentang bagaimana kita melawan dunia.” Musim berikutnya, Manchester United menjadi juara Liga Inggris dan memulai dominasi hingga 20 tahun ke depan, menggantikan Liverpool yang mendominasi Inggris sejak 1970.
Ferguson belajar banyak dari Liverpool sejak menangani Aberdeen. Oktober 1980, Aberdeen harus menghadapi Liverpool yang ditangani Bob Paisley pada putaran kedua Piala Eropa.
Para pemain Liverpool tidak terlalu gembira berhadapan dengan Aberdeen. “Terima kasih banyak, UEFA,” sahut Kenny Dalglish, legenda Liverpool bernomor punggung tujuh asal Skotlandia. Ia mencemaskan rivalitas Inggris dan Skotlandia yang akan melipatgandakan motivasi para pemain Aberdeen.
Ini pertandingan terbesar di level Eropa yang mempertemukan klub Inggris dan Skotlandia sejak Glasgow Celtic melawan Leeds United pada 1970. Dalglish tahu mereka harus menang di kandang Aberdeen. Kekalahan hanya akan menjadi kenangan buruk yang akan diungkit dalam waktu lama setiap kali Liverpool bertanding di Skotlandia pada masa mendatang.
Ferguson dan asistennya, Archie Knox, terbang ke Inggris untuk menyaksikan bagaimana Liverpool bermain melawan Middlesbrough, 7 Oktober 1980.
Mereka bertemu mantan manajer Liverpool Bill Shankly, yang juga orang Skotlandia, di director’s box. Klasik, Shankly menyambut mereka berdua dengan senyum hangat, namun pernyataan yang mematikan: ‘Jadi kalian datang untuk menyaksikan tim kami yang hebat?’.
Ferguson dan Knox mendadak salah tingkah. Mereka merasa seperti dua orang ‘groupies’ di hadapan Shankly.
Pertandingan pertama di rumah sendiri, para pemain Aberdeen memerlakukan para pemain Liverpool seperti para dewa yang turun dari langit.
Ferguson menyaksikan bagaimana para pemain Liverpool mengajari anak-anak asuhnya bermain sepak bola yang benar. Dia tak bisa menutupi rasa hormatnya terhadap Paisley dan Liverpool. Mereka kalah 0-1, setelah Terry McDermott mencetak gol pada menit kelima.
Pertandingan kedua berlangsung di Anfield, 5 November 1980. Liverpool belum pernah kalah dalam 75 kali pertandingan kandang mereka selama 33 bulan. Malam itu, Ferguson mengalami kekalahan terbesar dalam karirnya sebagai manajer di Aberdeen untuk pertama kalinya: 0-4.
Para pemain Aberdeen sudah merasa inferior di hadapan Liverpool, dan Fergie membenci itu. Usai pertandingan, para pemain kembali ke hotel dengan membawa sekantung keripik dan kacang masing-masing yang menjadi sponsor Aberdeen.
Mereka melihat Graeme Souness, kapten Liverpool, datang ke hotel dengan memakai jas hujan berbulu yang mewah bersama istri dan adik perempuannya untuk makan.
Suara botol sampanye yang dibuka dari meja Souness membuat Ferguson makin berang. Dia mungkin mengira Souness hendak mengejeknya, dan tidak tahu jika hotel tempat mereka menginap juga biasa dikunjungi pemain berkumis itu.
Wajah Ferguson memerah seperti tersambar petir. Ia memerintahkan para pemainnya untuk mengambil makanan dan kembali ke kamar segera. “Siapapun yang ketawa akan kena denda potong gaji sepekan.”
Stevie Cowan tidak bisa menahan tawa melihat Ferguson, dan dia tidak pernah dimainkan lagi selama beberapa bulan. Mereka baru berbaikan, menjelang pertandingan Piala Skotlandia.
Urusan dengan pemain Liverpool belum beres, saat Ferguson mendampingi Jock Stein melatih tim nasional Skotlandia untuk lolos ke Piala Dunia 1986 di Meksiko.
Tiga pemain Liverpool, Alan Hansen, Steve Nicol, dan Kenny Dalglish menampik permintaannya untuk membocorkan cara menjinakkan Ian Rush, striker Liverpool yang juga ujung tombak Wales, sebelum pertandingan di Hampden Park.
Berikutnya, hubungan Ferguson dengan para pemain Liverpool memburuk. Hansen tidak diikutsertakan dalam skuat Skotlandia di Piala Dunia. Alasannya klasik: cedera.
Dalglish meminta kepada Ferguson agar Hansen tidak ditinggalkan. Namun keputusan sudah dibuat. Beberapa bulan jelang Piala Dunia, Dalglish mengundurkan diri dari tim nasional Skotlandia dengan alasan cedera setelah final Piala FA melawan Everton. Spekulasi berkembang: Dalglish dituduh ngambek karena sahabatnya tidak terpilih dalam tim nasional. Namun ia membantah, dan bersikeras tak ada yang bisa dilakukan dengan cederanya.
Ferguson akhirnya berhadapan langsung dengan Liverpool setelah menggantikan Ron Atkinson menjadi manajer Manchester United pada musim 1986-1987. Di bawah manajemen Dalglish, The Reds masih menguasai Inggris. Jauh sebelum Jose Mourinho memainkan ‘mind games’, Ferguson sudah menggunakan lidahnya yang tajam untuk mengusik rival utamanya.
Usai pertandingan yang berakhir imbang 3-3 di Anfield pada 1988, Ferguson menyerang wasit yang dianggapnya berpihak kepada Liverpool. “Banyak manajer harus meninggalkan tempat ini sembari tersedak oleh omongan mereka sendiri, menggigit lidah mereka sendiri, takut mengatakan apa yang benar.”
Dalglish membalasnya dengan tak kalah tajam saat ditanya seorang reporter soal pernyataan itu. “You might as well talk to my baby daughter (than Alex Ferguson). You’ll get more sense out of her,” katanya sembari menggendong Lauren, anaknya.
Tahun 1994, Ferguson menuduh BBC bersikap bias terhadap Man United dan memiliki preferensi terhadap Liverpool. Alan Hansen adalah salah satu pandit yang menjengkelkan dan masyhur dengan pernyataan: ‘Anda tidak akan memenangkan apapun jika memainkan anak-anak’.
“BBC memang ingin sekali kami kalah. Mereka semua berasal dari Liverpool dengan lenacana pendukung Liverpool. Setiap pekan mereka akan selalu hadir di pertandingan kami sampai kami kalah,” kata Ferguson.
Kehormatan memberikan pengantar untuk buku autobiografi Dalglish pun dimanfaatkan Ferguson untuk menyerang rivalnya dengan halus, dengan menyebutnya hanya punya sedikit kawan. “Tidak ada salahnya, karena pada akhirnya, Anda hanya butuh enam orang untuk menggotong peti jenazah Anda.”
Saya merasa, membangun mentalitas ‘kita melawan dunia’ adalah kunci Ferguson untuk membangun Man United. Pekerjaan rumah terbesarnya adalah menghilangkan inferioritas pemain dan pendukung klub itu di hadapan Liverpool. Ia sudah belajar banyak dari apa yang dialaminya di Aberdeen.
Setelah kekalahan menyakitkan dari pasukan Bob Paisley, Ferguson membuat orang melupakan duo klub Glasgow, Rangers dan Celtic. Tahun 1983, Aberdeen menjadi juara Piala Winners dan juara Piala Super Eropa setahun kemudian.
United sepanjang 1970-1990 adalah kerikil bagi Liverpool. Mereka tidak pernah mengangkat trofi Liga Inggris dan hanya menyaksikan sang rival empat kali menjadi juara Piala Eropa. Ferguson datang saat perimbangan gelar Liga Inggris berat sebelah: Liverpool 16 kali menjadi juara dan United baru tujuh kali.
Mentalitas ‘kita melawan dunia’ dibentuk dengan menjadikan Liverpool sebagai sasaran tembak. “My greatest challenge was knocking Liverpool right off their fucking perch. And you can print that,” katanya kepada The Guardian pada 2002.
Ini manajemen kebencian yang terukur dengan menekankan doktrin: jangan pernah mudah jatuh kagum kepada lawan. Sehebat apapun tim lawan, mereka bukan sesuatu yang tak tersentuh.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, Ferguson pensiun, dan misinya menumbangkan Liverpool dari tahta Liga Inggris telah selesai: 20 gelar Liga Inggris. Dua gelar lebih banyak daripada rivalnya, sebelum Klopp mendaratkan gelar ke-19 untuk Liverpool pada musim 2019-2020.
Pertanyaan berikutnya: seberapa efektifkan mentalitas ‘kita melawan dunia’ setelah Ferguson pensiun dengan sekian capaian gelar juara? Kini United menempati posisi yang dulu ditempati Liverpool. Kini mereka menjadi sasaran tembak semua klub Liga Inggris. Tidak ada yang heroik.
Kapten Liverpool Steven Gerrard pernah mengatakan, kini rasa takut tersaingi dan terkejar menjadi beban United. Liverpool memiliki keuntungan psikologis, terutama karena The Reds masih berhak mengklaim sebagai raja Eropa di Inggris dengan enam gelar Piala Champions.
Sementara United masih kerepotan mencari suksesor Ferguson. David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solkajer, dan Ralf Rangnick. Van Gaal dan Mourinho berhasil mendaratkan trofi Piala FA, Piala Liga, dan Piala EUFA.
Namun gaya main United di atas lapangan melemparkan sinyal, mereka butuh mentalitas baru sebagaimana dulu ditanamkan Ferguson untuk membangun sukses jangka panjang.***