Sebuah kedai hamburger dilempari batu dalam aksi unjuk rasa anti-Amerika. Si pelempar mungkin tahu, di dalam kedai, pembelinya bukan John, Morgan, atau Cliffton, tapi Joko, Sunarsih, atau Togar. Si pelempar juga mungkin memahami benar, para pelayan di kedai itu tak bernama Sue, Samantha, atau Jane, melainkan Siti, Ani, atau Dini.
Maka kita pun sadar, pada hakikatnya, lemparan batu tak hanya ditujukan kepada ‘sesuatu yang Amerika’. Dan, saya teringat Sri-Edi swasono, ekonom menantu Bung Hatta itu, yang pernah berkunjung ke Jember, Jawa Timur, April 2011 silam.
Di Amerika, saat masih kuliah, Swasono sebenarnya paham betul, hamburger adalah makanan murah meriah yang bisa dibelinya sebagai camilan saat berkencan. Namun di Indonesia, ia memilih makan setandan pisang rebus daripada sepotong hamburger. “Kalau saya makan hamburger, berarti saya melakukan kejahatan kultural,” katanya.
“Uang yang saya peroleh untuk beli pisang rebus, bisa digunakan ibu penjual pisang untuk membayar SPP anaknya yang makin tinggi.”
Kejahatan kultural? Mungkin Swasono terlampau berlebihan. Namun, ia tak sepenuhnya keliru.Dari sebuah hamburger, kita tahu, kapitalisme berangkat dari perut, dan oleh karenanya sulit untuk dienyahkan. Dan, pada akhirnya, globalisasi menjadikan hamburger melebihi nyanyian ‘Internazionale’, di luar yang bisa dibayangkan kaum komunis dan diimajinasikan kaum nasionalis totok.
Thomas Friedman, kolumnis dan jurnalis The New York Times, menulis sebuah teori dalam bukunya: Golden Arch. Lengkungan emas. “Tidak ada dua negara yang sama-sama memiliki McDonald berperang melawan satu sama lain, sejak McDonald lahir di tiap-tiap negara tersebut.”
Jika Anda membeli hamburger hari ini, kata Swasono, maka di lain hari, Anda akan membayar kejunya untuk Denmark, membayar terigunya ke Australia, membayar dagingnya ke New Zealand, dan membayar saus tomatnya ke Amerika Serikat. Ada harmoni hubungan internasional dalam sepotong burger, yang dijalin oleh sebuah kelas bernama kelas menengah.
Dalam teori Golden Arch, Friedman menyebutkan: ketika sebuah negara mencapai tingkat perkembangan ekonomi, di mana kelas menengah sudah tumbuh cukup besar di sana untuk mendukung jaringan McDonald, negara itu merupakan negara McDonald. “Orang-orang di negara McDonald lebih suka antre burger ketimbang perang,” kata Friedman.
Namun, bagi Swasono bukan itu pangkal soalnya. Pangkal soalnya adalah ketidakadilan. “Globalisasi membuat orang terhubung…suatu dunia di mana aset 200 orang terkaya jumlahnya lebih besar daripada pendapatan gabungan lebih dari dua miliar orang di ujung yang lain,” kata Jay Mazur, presiden Persatuan Buruh Jahit, Industri, dan Tekstil.
Dengan kata lain, dari cerita panjang sepotong burger, kata Swasono, “lalu apa yang tersisa di Indonesia? Mungkin hanya keringat koeli-koeli.”
Selama bertahun-tahun, kelas-kelas dan kampus-kampus fakultas ekonomi di seluruh Indonesia mengajarkan paradigma besar tentang pasar. Dalam pasar, idealnya yang terjadi adalah persaingan sempurna. Pasar adalah hal yang bajik, karena mengatur dirinya sendiri melalui sebuah tangan yang tak tampak.
Saya mengutip Edouard Balladur, mantan Perdana Menteri Prancis. “Pasar adalah hukum rimba, hukum alam. Dan apa artinya peradaban? Ia adalah pergumulan melawan alam.”
Pasar adalah persaingan, pertarungan, mengandaikan individu-individu saling hantam, saling pukul, bersaing untuk kepentingan masing-masing. Persaingan memiliki akar kuat ideologi liberalisme dan individualisme: apa yang dikira baik untuk individu, pada akhirnya baik untuk umat manusia. Toh pada akhirnya, peperangan, perkelahian itu berujung perdamaian, karena pada akhirnya semua pihak sadar harus menata persaingan itu dengan sebuah aturan. Si vis pacem para bellum. Kalau mau damai ya harus siap angkat senjata.
Pengandaian di atas berpangkal pada syak-wasangka, dan melupakan satu opsi, bahwa kerjasama bisa dimulai tanpa pertarungan, melainkan rasa saling percaya. “Undang-Undang Dasar pasal 33 menyatakan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. ‘Disusun’ tidak dibiarlan ‘tersusun’. Ada campur tangan negara. Nasib rakyat tak boleh dititipkan kepada pasar,” kata Swasono.
Pasar menuntut kepuasan maksimal. Pasar, yang menurut Gordon Gekko dalam film ‘Wall Street’, rakus: karena rakus itu bagus. Dan, menyerahkan rakyat kepada pasar akan mengulang apa yang terjadi di Gujarat, Asia Selatan, pada 1812.
Kala itu, jutaan orang mati kelaparan, karena gubernur Bombay melarang bantuan pangan dikirim ke daerah yang tengah dilanda krisis ekonomi. Sang gubernur mengimani ‘The Wealth of Nations’ karya Adam Smith: tangan tak tampak (invinsible hands) pasar pasti akan mengatasi kelaparan rakyat sendiri.
Jadi, tugas pemerintah bukan menitipkan rakyat kepada pasar. Pemerintah justru harus mengupayakan pasar harus ramah kepada rakyat. Di sini, opsi kapitalisme lain yang diemohi oleh Barat terbentang: kapitalisme negara (state capitalism). Orang yang skeptis seperti Ian Bremmer dalam buku ‘The End of The Free Market’ menilai: kapitalisme negara adalah sebuah sistim ketika negara mendominasi pasar, terutama untuk keuntungan politik.
Dan, jangan khawatir, dengan terbangunnya demokratisasi di Indonesia, prinsip-prinsip kapitalisme negara akan berbeda dengan yang terbangun di negara otoriter. Mengutip Bremmer, dalam pemerintah demokratis, “pemerintah harus bertanggungjawab kepada masyarakat pemilih, kalangan jurnalis, lembaga legislatif, lembaga peradilan, yang semuanya memiliki kepentingan untuk menjamin agar tidak ada pemerintah yang mengantongi kekuasaan politik dan ekonomi berlebihan.”
Politik dan elite politik memang selalu jadi problem, dan berpotensi untuk dicurigai hanya menjadikan kapitalisme negara untuk menumpuk kepentingan sendiri. Dan mungkin sebelum kita mengikhtiarkan pasar yang ramah terhadap rakyat, kunci pertama kita adalah membangun kepercayaan terhadap institusi negara, dan kepercayaan negara terhadap rakyatnya.
Reputasi lembaga negara macam parlemen memang tengah anjlok. Di Jakarta, orang mungkin benci dan muak dengan mereka yang berada di senayan. Namun di berbagai pelosok negeri ini, orang-orang masih berunjuk rasa di halaman gedung DPRD, menemui para wakil rakyat untuk menyampaikan kekecewaan, dan juga menyemburkan amarah. Orang belum kehilangan rasa percaya itu seratus persen, dan karenanya mereka masih datang ke parlemen dengan mengantongi harapan.
Namun bisakah negara mempercayai rakyatnya? Hugo Chavez, Presiden Venezuela yang sosialis itu, dengan lantang berkata, “Jika Anda ingin menghapus kemiskinan, Anda harus memberdayakan kaum miskin, bukan memperlakukan mereka sebagai pengemis.”
Bisakah perekonomian rakyat diberdayakan? Swasono meminta kepada pemerintah tak meremehkan kemampuan rakyat. “Saya punya pembantu, saya ajari untuk menghapalkan 20 kata Bahasa Inggris per minggu. Dia saya ajari menerima telpon dan menjawabnya dengan bahasa Inggris (tentu yang dimaksud jika si penelpon berbahasa itu). Bisa tuh ternyata. Malah yang paling pandai adalah pembantu yang cuma lulusan SD.”
Dan, di negeri ini, kita yakin bahwa, seperti kata Joan Robinson, “Orang tak hanya butuh roti untuk perut. Tapi dia juga butuh harga diri…” ***