Surabaya (pilar.id) – Roudhotul Esa Maharani, mahasiswi Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), telah membawa isu kekerasan anak, perkawinan anak, dan ketenagakerjaan pemuda hingga ke forum global.
Ketertarikannya pada isu-isu ini sudah dimulai sejak masa SMA, dan kini membawa dampak besar tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga internasional.
Perjalanan Esa dimulai dari keterlibatannya di Forum Anak Ponorogo dan Forum Anak Jawa Timur, di mana ia aktif meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kasus kekerasan dan perkawinan anak.
Kolaborasinya dengan Yayasan Kesehatan Perempuan menghasilkan berbagai program seperti Project Laskar Remaja Bersama Menginspirasi, Youth Fun Camp, dan pelatihan pengembangan usaha untuk anak muda.
Saat masih di bangku SMA, Esa memimpin kampanye Child-Ied di bawah Save the Children Indonesia dan enam NGO besar lainnya.
Ia memimpin penelitian tentang dampak COVID-19 terhadap anak dan menyusun rekomendasi kebijakan untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Selain itu, ia juga berperan sebagai co-leader dalam Children and Advisory Network – Save the Children Indonesia, yang memungkinkannya mengadvokasi isu kekerasan dan perkawinan anak kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Mahasiswi Sosiologi ini juga pernah magang di program Skills to Succeed, Save the Children Indonesia, membantu implementasi Youth-led Innovation Lab for Green Entrepreneurship di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Esa ingin berkontribusi dengan membagikan ilmu softskill dan hardskill kepada pemuda, seperti public speaking, manajemen stres, pengambilan keputusan, dan pelatihan digital marketing.
Pada tahun 2023, Esa terpilih sebagai salah satu dari 120 pemuda dari 65 negara untuk bergabung dalam Youth Advisory di bawah World Bank.
Kesempatan ini membawanya ke Positive Youth Development Symposium di Washington, D.C., di mana ia mengembangkan rencana untuk memfasilitasi keterlibatan pemuda yang inklusif.
Esa berharap isu kekerasan, perkawinan anak, dan ketenagakerjaan pemuda semakin mendapat perhatian publik.
“Perlu adanya penguatan regulasi dan melibatkan lebih banyak pihak untuk mencegah perkawinan anak. Isu ketenagakerjaan anak muda juga perlu diintervensi mendalam. Selain itu, peningkatan pendanaan dari berbagai pihak akan sangat membantu dalam memperluas jangkauan program-program kepada lebih banyak anak-anak di Indonesia,” tuturnya. (ret/hdl)