Jakarta (www.pilar.id) – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali mempertemukan berbagai pemangku kepentingan terkait melalui The Annual Islamic Finance Conference (AIFC) ke-5 guna membahas berbagai masalah utama keuangan Islam, ekonomi dan pembangunan di Indonesia.
Tema kegiatan yang diangkat pada AIFC ke-5 yaitu Peran Keuangan Syariah dalam Menopang Pemulihan Ekonomi: Meningkatkan Produktivitas, Stabilitas Keuangan, Pertumbuhan Berkelanjutan dan Inklusif.
Forum ini menjadi ajang diskusi untuk mempromosikan pengembangan keuangan syariah yang mencakup kerangka, penerapan, model, isu bisnis syariah, dan instrumen keuangan syariah yang digunakan selama pemulihan ekonomi pasca Pandemi Covid-19 dan ke depannya.
Dalam dekade terakhir, keuangan Islam telah menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat di industri keuangan global, melampaui pasar keuangan konvensional. Global Islamic Economic Report (2020) memperkirakan nilai aset keuangan syariah meningkat 13,9 persen pada 2019, dari $2,52 triliun menjadi $2,88 triliun.
Selanjutnya, di tahun 2021, sejalan dengan tren global yang meningkat, keuangan syariah di Indonesia tumbuh positif di tengah pandemi. Dari sisi perbankan pada Mei 2021, aset perbankan syariah tumbuh 15,6 persen (year-on-year) atau mencapai Rp598,2 triliun.
“Kisah sukses Indonesia sebagai pasar berkembang untuk terus berinovasi dalam instrumen keuangan, baik itu komitmen kami terhadap lingkungan maupun keyakinan kami pada syariah, merupakan salah satu perkembangan terpenting yang akan terus kami (Pemerintah) kembangkan dan dukung”, ungkap Menteri Keuangan dalam pidatonya di AIFC ke-5 hari ini.
Khusus keuangan syariah, Pemerintah menilai bahwa terdapat potensi pengembangan yang sangat besar dalam sektor tersebut karena menekankan prinsip atau nilai-nilai Islam seperti keadilan, pada praktik keuangan syariah terutama melalui skema risk-sharing (berbagi risiko).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Febrio Kacaribu mengatakan “Keuangan syariah merupakan, cara, kerangka, yang mengatur aset dan transaksi berdasarkan prinsip keadilan dan kerelaan. Saya harap interpretasi dari prinsip-prinsip tersebut akan terimplementasi ke dalam proses pengembangan keuangan syariah, terutama dalam mendesain skema berbagi risiko yang semakin baik”.
Selain dari prinsip keadilannya, potensi keuangan syariah juga terlihat dari pasar modal syariah, dengan jumlah investornya yang meningkat 9,3 persen selama tiga bulan pertama tahun 2021. Per Juli 2021 sendiri, outstanding sukuk negara Indonesia tercatat sebesar 1.076,01 triliun rupiah, atau tumbuh sebesar 10,75 persen (year-to-date) dan diperkirakan akan terus tumbuh di masa mendatang.
Di pasar internasional, Indonesia berada di antara para kontributor utama penerbitan sukuk global. Sebagai tambahan, sukuk (negara) terbukti sebagai salah satu sumber pembiayaan yang dapat diandalkan di mana dalam periode 2013-2021, terdapat 3.447 proyek yang dibiayai melalui sukuk.
Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk mengoptimalkan pasar keuangan syariah dengan mengembangkan lebih banyak varian pembiayaan melalui sukuk atau blended finance, seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) dan Green Sukuk.
Di sektor keuangan syariah lainnya, seiring dengan berkembangnya ekosistem financial technology (fintech), aset fintech syariah di Indonesia tumbuh mencapai 134 miliar rupiah pada Juni 2021 yang mewakili 3 persen dari total aset fintech di Indonesia.
Meski kontribusi terhadap keseluruhan aset fintech relatif kecil, aset fintech syariah telah meningkat lebih dari 50 kali lipat dalam 2,5 tahun terakhir. Global Islamic Fintech Report (2021) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terbesar dalam hal market size transaksi fintech syariah yang mencapai USD 2,9 miliar selama tahun 2020. Indonesia berada di posisi 5 besar, di belakang Arab Saudi (USD 17,9 miliar), Iran (USD 9,2 miliar), Uni Emirat Arab (USD3,7 miliar), dan Malaysia (USD3 miliar).
Arah strategis pengembangan keuangan syariah di Indonesia mengacu pada Rencana Induk Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI). Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, selaku Ketua Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) meluncurkan Rencana Induk (MEKSI) pada tahun 2019, sebagai peta jalan pertama negara untuk mengembangkan ekonomi syariah, yang bertujuan untuk memperkuat ekonomi nasional.
Visi dari masterplan ini adalah untuk mewujudkan “Indonesia yang mandiri, sejahtera, dan beradab dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka dunia”. Pada tahun 2020, masterplan tersebut diturunkan menjadi Rencana Pelaksanaan dan Rencana Kerja 2020-2024 berdasarkan koordinasi yang kuat antara pemangku kepentingan Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah Nasional (KNEKS) dari pemerintah, akademisi, pelaku industri, LSM, dan masyarakat. Rencana tersebut terdiri dari 30 program strategis dengan fokus pada pengembangan dan penguatan: (i) industri halal, (ii) keuangan syariah, (iii) keuangan sosial syariah, dan (iv) bisnis dan kewirausahaan syariah.
Mengingat pesatnya kemajuan teknologi digital, upaya peningkatan inklusi keuangan syariah juga dilakukan melalui pemberian dukungan terhadap pengembangan produk dan layanan keuangan digital syariah.
Inisiatif ini sejalan dengan prioritas Kemitraan Global untuk Inklusi Keuangan G20, yang berfokus pada inklusi keuangan digital dan keuangan UKM. AIFC ke-5 adalah acara tahunan yang diadakan oleh Kementerian Keuangan yang mempertemukan para pembuat kebijakan, ekonom, akademisi, dan sektor swasta untuk membahas berbagai kebijakan kunci dalam ekonomi dan keuangan Islam serta isu-isu pembangunan terkait, khususnya untuk Indonesia.