Cirebon (pilar.id) – Sejumlah traveler, baik dari dalam maupun luar negeri, menjadikan Cirebon, Jawa Barat, sebagai impian. Maklum, sebagai sebuah kota yang terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia, Cirebon memiliki sejarah dan budaya yang kaya, serta merupakan salah satu kota penting di pulau Jawa.
Pada masa lampau, Cirebon merupakan salah satu daerah yang penting dalam jaringan perdagangan maritim di Asia Tenggara. Cirebon juga pernah menjadi pusat kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Cirebon. Melengkapi sejarah ini, Cirebon juga memiliki kekayaan budaya yang beragam, terutama dalam seni pertunjukan seperti tari-tarian tradisional seperti tari topeng Cirebon.
Tari topeng Cirebon merupakan seni pertunjukan yang menggabungkan tarian dengan penggunaan topeng sebagai atribut pentingnya. Selain itu, seni ukir kayu dan seni anyaman juga menjadi bagian penting dari warisan budaya Cirebon.
Selain memiliki kelayaan aset wisata alam dan modern, Cirebon juga memiliki banyak peninggalan sejarah yang menarik untuk dikunjungi. Berikut lima rekomendasi tempat wisata sejarah di Cirebon yang wajib dikunjungi.
1. Keraton Kasepuhan
Keraton ini terletak di Kelurahan Kesepuhan, Lemahwungkuk, Cirebon. Tak hanya menjadi landmark sejarah, Keraton Kasepuhan juga dikenal sebagai pusaka budaya yang masih dijaga dengan baik. Dalam setiap detail arsitektur, cerita masa lalu tercermin dengan megah. Berada di tengah-tengah dinding tembok bata merah, keraton ini memiliki pendopo yang memukau.
Keraton Kasepuhan, dulunya dikenal sebagai Keraton Pakungwati, memiliki akar sejarah yang dalam sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon. Berdiri gagah dengan bangunan berwarna putih, keraton ini memancarkan kemegahan dari ruang tamu hingga singgasana raja yang terdapat di dalamnya.
Salah satu harta berharga dari keraton ini adalah museumnya yang kaya akan benda-benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Menariknya, di antara koleksi tersebut terdapat Kereta Singa Barong, kereta kencana milik Sunan Gunung Jati. Meski kini jarang dipamerkan, kereta ini tetap diarak setiap 1 Syawal untuk prosesi penyucian.
Dua kompleks bangunan bersejarah terdapat di dalam kompleks Keraton Kasepuhan. Pertama, Dalem Agung Pakungwati, yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana, dan kompleks Keraton Pakungwati yang kini dikenal sebagai Keraton Kasepuhan, didirikan oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 M.
Pada masa lalu, Pangeran Cakrabuana memerintah dari Dalem Agung Pakungwati, Cirebon. Nama Keraton Kasepuhan sendiri berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Peninggalan bersejarah ini tetap terjaga hingga saat ini sebagai penghormatan pada Keraton Pakungwati yang kemudian berubah nama menjadi Keraton Kasepuhan.
Keindahan dan keberadaan Keraton Kasepuhan bukan hanya sekadar simbol sejarah, tetapi juga mewakili warisan kesultanan Cirebon yang masih berdiri tegak. Keraton ini menghadap ke arah utara dan menjadi salah satu dari beberapa keraton yang mengikuti model tata letak tersebut.
Di depan Keraton Kasepuhan, tampak alun-alun yang pada masa lalu dikenal sebagai alun-alun Sangkala Buana. Tempat ini dulunya digunakan untuk latihan keprajuritan pada hari Sabtu, atau Saptonan. Alun-alun ini juga menjadi pusat aktivitas keraton dan tempat perayaan kesultanan. Di sini, rakyat berkumpul untuk mendengarkan pengumuman dari Sultan.
Tak jauh dari keraton, berdiri megah Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sebuah karya monumental dari para wali. Sementara di sebelah timur alun-alun, dulunya terdapat pasar yang kini dikenal sebagai Pasar Kesepuhan, terkenal dengan ragam dagangannya.
Model tata letak Keraton Kasepuhan, dengan keraton menghadap utara, masjid di sebelah barat, dan pasar di sebelah timur serta alun-alun di tengah, bukan hanya mencerminkan sejarah Keraton Kasepuhan tetapi juga menjadi model yang diikuti oleh banyak daerah di Jawa dalam penataan ruangnya, terutama di depan gedung pemerintahan.
Sebagai saksi bisu perjalanan waktu, Keraton Kasepuhan Cirebon terus menjaga pesonanya. Sebuah peninggalan berharga yang mengajarkan kita tentang kejayaan masa lampau.
2. Taman Sari Gua Sunyaragi
Gua Sunyaragi, juga dikenal sebagai Taman Sari Guwa Sunyaragi, menjadi salah satu destinasi unik di Kota Cirebon yang menggabungkan keindahan alam dengan elemen budaya yang dalam.
Terletak di kelurahan Sunyaragi, Kesambi, kawasan ini menyajikan Gua Sunyaragi, Taman Air Sunyaragi, atau juga dikenal dengan sebutan Tamansari Sunyaragi. Nama Sunyaragi mengandung makna sunya yang berarti sepi dan ragi yang mengacu pada raga dalam bahasa Sanskerta. Gua ini pada awalnya dibangun sebagai tempat istirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan keluarganya.
Gua Sunyaragi merupakan salah satu warisan budaya yang berharga di Kota Cirebon, mencakup area seluas 15 hektar. Terletak di sisi jalan by pass Brigjen Dharsono, Cirebon, kompleks ini memancarkan pesona konstruksi bangunan taman air yang menarik.
Nama Taman Air Gua Sunyaragi merujuk pada kaitan antara gua dan elemen air yang kaya di dalamnya. Pada masa lalu, gua ini dikelilingi oleh Danau Jati. Meskipun Danau Jati telah mengering dan lokasi tersebut sekarang menjadi jalan by pass Brigjen Dharsono, sungai Situngkul, lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Gas milik PLN, persawahan, dan pemukiman penduduk, jejak sejarahnya tetap abadi.
Keindahan gua ini terpancar melalui air terjun buatan yang menghiasi tempat ini, serta beragam patung dan hiasan taman seperti Gajah, Patung Wanita Perawan Sunti, dan Patung Garuda. Gua Sunyaragi juga merupakan bagian integral dari keraton Pakungwati, yang sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan.
Kompleks Tamansari Sunyaragi terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu pesanggrahan dan bangunan gua. Pesanggrahan mencakup serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah, serta taman dengan kolam yang memukau.
Bangunan gua membentuk gunung-gunungan, lengkap dengan terowongan bawah tanah dan saluran air. Fasad luar kompleks menghadirkan motif batu karang dan awan yang memukau. Pintu gerbang luar terlihat seperti candi bentar, sementara pintu dalamnya mengusung desain paduraksa.
Pusat dari seluruh gua adalah Gua Peteng, yang dulu digunakan untuk bermeditasi. Ada juga Gua Pande Kemasan, yang berfungsi sebagai bengkel pembuatan senjata dan tempat penyimpanan. Gua Pawon menjadi tempat penyimpanan perbekalan dan makanan prajurit.
Gua Pengawal berada di bagian bawah kompleks, menjadi tempat berjaga para pengawal. Saat Sultan ingin berdiskusi dengan bawahan, Bangsal Jinem digunakan, sementara Gua Mande Beling menjadi tempat istirahat Sultan. Gua Padang Ati memiliki makna khusus sebagai tempat bertapa bagi para Sultan.
Gua Sunyaragi Cirebon adalah sebuah mahakarya budaya yang menggabungkan keajaiban alam dengan warisan sejarah. Pesonanya yang khas dan keragaman elemen budayanya menjadikannya salah satu daya tarik unik yang patut dikunjungi.
3. Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, juga dikenal sebagai Masjid Agung Cirebon atau Masjid Sunan Gunung Jati, menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Cirebon yang berdiri kokoh. Bangunan ini tak hanya mencerminkan arsitektur yang memukau, tetapi juga memiliki akar sejarah yang dalam.
Diresmikan pada tahun 1498 M, Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan sebuah monumen peninggalan Sunan Gunung Jati, yang terletak di kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Dikenal sebagai masjid tertua di Cirebon, masjid ini juga menjadi bagian penting dari perjalanan spiritual para wali dalam membangunnya secara gotong-royong.
Sejarah pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa berawal dari Sunan Gunung Jati yang mengajak Wali Sanga untuk bersama-sama melahirkan keindahan ini. Tidak hanya itu, Raden Patah dari Demak juga mengirimkan tenaga ahli untuk membantu pembangunan ini. Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Sanga, memainkan peran signifikan dengan bantuan arsitek Raden Sepat dari Kerajaan Majapahit dalam menggarap proyek ini.
Salah satu ciri khas yang membedakan masjid ini adalah penggunaan saka guru atau tiang utama yang terbuat dari pecahan kayu kecil yang disatukan, melambangkan semangat gotong royong. Bahkan, menurut legenda, pembangunan masjid ini dilakukan dalam tempo satu malam, siap digunakan untuk shalat subuh berikutnya.
Nama Sang Cipta Rasa sendiri memiliki makna mendalam yang mewakili rasa dan kepercayaan. Pada masa lalu, masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Pakungwati, sesuai dengan letaknya di kompleks Keraton Pakungwati. Kini, masjid ini menjulang megah di depan Keraton Kesepuhan.
Secara arsitektural, Masjid Agung Sang Cipta Rasa menghadirkan bentuk yang khas dari peninggalan kerajaan Islam. Atap limasnya, terdiri dari tiga susunan yang semakin mengecil ke arah atas, menjadi daya tarik utama.
Struktur masjid ini terdiri dari dua bagian utama: ruang utama dan serambi. Ruang utama seluas 17,8 x 13,3 meter dikelilingi oleh dinding setinggi tiga meter dengan sembilan pintu yang mewakili sembilan anggota Wali Sanga. Di ruang ini berdiri 30 tiang berdiameter 40 cm yang menjadi pilar keindahan. Beberapa bagian dinding dihiasi dengan motif teratai dan sulur-sulur, serta ornamen China seperti porselen buatan Dinasti Ming.
Selain itu, ruang utama juga menampilkan mihrab, mimbar, dan maksurah. Atap mihrab bergaya lengkungan dengan hiasan bunga matahari yang mendukung simbolisme. Mimbar yang dikenal sebagai Sang Renggakosa tidak melekat pada dinding dan maksurah, palang kayu untuk shalat, hadir dalam dua bentuk, masing-masing untuk Sultan Kesepuhan dan Sultan Kanoman.
Serambi, bagian penting masjid ini, terbagi menjadi serambi dalam dan luar. Dalam serambi ini, terdapat detail-detail menarik seperti Prabayaksa dan Pemandangan di serambi dalam, serta Serambi timur yang memiliki dua serambi persegi panjang. Selain itu, serambi selatan menjadi tempat shalat kaum perempuan (pawastren), menunjukkan inklusivitas dalam desain masjid ini.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon bukan hanya sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga karya seni yang memukau dan pengingat akan warisan budaya yang tak ternilai.
4. Keraton Kacirebonan
Keraton Kacirebonan, yang dikenal sebagai yang termuda di antara tiga keraton di Cirebon, didirikan atas inisiatif Pangeran Muhamad Haerudhin. Ia adalah Putra Mahkota dari Sultan Kanoman ke-IV, yang memberontak melawan kekuasaan Belanda.
Kisah awal Keraton Kacirebonan berkaitan erat dengan gejolak perang di wilayah Cirebon. Tepatnya pada tahun 1670, Belanda mulai campur tangan dalam urusan Keraton Kanoman yang dipimpin oleh Pangeran Haerudhin. Pangeran Muhamad Haerudhin, putra mahkota kerajaan yang juga melawan kolonialisme, menentang campur tangan tersebut.
Melibatkan dukungan masyarakat Cirebon, perjuangan melawan Belanda berlangsung selama hampir lima tahun. Namun, pada tahun 1696, Pangeran Muhamad Haerudhin akhirnya dikalahkan dan diasingkan ke Ambon, Maluku.
Namun, pengasingan ini tidak membawa perubahan dalam hal pengangkatan Sultan Kanoman. Pemerintah Belanda mengangkat Pangeran Imamudin sebagai Sultan Kanoman yang ke-V, meskipun tidak mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Ketidakpuasan masyarakat dengan pengangkatan tersebut mengakibatkan perlawanan semakin kuat dan meluas ke daerah sekitarnya. Untuk meredakan situasi, Pangeran Muhamad Haerudhin akhirnya dipulangkan ke Cirebon, mengakhiri pengasingannya.
Pendirian Keraton Kacirebonan pada tahun 1808 oleh Pangeran Muhamad Haerudhin, yang juga dikenal dengan gelar Sultan Carbon Amirul Mukminin, menjadi sebuah langkah untuk menjaga identitas dan budaya Cirebon. Dengan luas lahan sekitar 2,5 hektar, keraton ini melingkupi Paseban Kulon di sebelah kiri dan Paseban Wetan di sebelah kanan, yang berfungsi sebagai tempat penerima tamu dan latihan tari topeng khas Cirebon.
Bagian depan keraton ditempati oleh Pintu Selamat Tangkep, pintu utama yang hanya dibuka pada upacara khusus atau kunjungan penting. Pengunjung biasa akan memasuki keraton melalui Pintu Kliningan di sisi kiri dan kanan. Di dalam, warna hijau mendominasi delapan tiang utama yang mendukung struktur keraton yang terawat dengan baik.
Serambi keraton, dikenal sebagai Ruang Jinem Prabayaksa, berfungsi sebagai tempat pertemuan Sultan dengan tamu dan acara-acara ritual keraton. Ruangan-ruangan di dalam Keraton Kacirebonan menyimpan sejumlah koleksi kuno yang sarat dengan nilai sejarah. Mulai dari senjata tradisional seperti pedang dan tombak, hingga alat pembuat jamu atau param, semuanya ditempatkan dengan rapi dalam ruangan yang khusus di keraton.
Ruangan lainnya memamerkan koleksi yang berkaitan dengan agama Islam dan sejarah keraton. Kitab-kitab warisan zaman para wali dan alat musik gamelan adalah bagian dari kekayaan budaya yang dapat dinikmati pengunjung saat mengunjungi Keraton Kacirebonan. Tempat ini memang memancarkan pesona sejarah yang tak terlupakan.
5. Keraton Kanoman Cirebon
Keraton Kanoman, salah satu dari dua istana kerajaan Cirebon, telah menjadi simbol penting dalam sejarah dan kebesaran Islam di Jawa Barat. Sejak didirikan pada tahun 1678 M, keraton ini bersama Keraton Kasepuhan membentuk fondasi kerajaan Cirebon. Sejarahnya terkait erat dengan perjuangan agama Islam di wilayah tersebut, dengan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah sebagai tokoh utama.
Keraton Kanoman muncul atas inisiatif Pangeran Mohamad Badridin, yang juga dikenal sebagai Sultan Anom I, pada sekitar tahun 1678 M. Meskipun zaman terus bergulir, keraton ini masih menjaga adat-istiadat dan tradisi, termasuk Grebeg Syawal yang diadakan seminggu setelah Idul Fitri, serta ziarah ke makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan bersejarah di keraton ini mencerminkan semangat penyebaran agama Islam yang diperjuangkan oleh Sunan Gunung Jati.
Tersembunyi di belakang pasar Kanoman, kompleks Keraton Kanoman yang meliputi sekitar 6 hektare merupakan tempat tinggal Sultan ke-12, Raja Muhammad Emiruddin, dan keluarganya. Bangunan-bangunan kuno di keraton ini memberi pandangan tentang kompleks yang luas, termasuk bangsal witana, yang menjadi inti dari keraton yang meluas hingga hampir lima kali lapangan sepak bola.
Pentingnya pengabdian Sunan Gunung Jati tercermin dalam koleksi berharga di Keraton Kanoman. Di antaranya, terdapat dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang terawat dengan baik dan disimpan di museum. Bentuknya menyerupai burak, binatang yang menurut legenda, dikendarai oleh Nabi Muhammad saat peristiwa Isra Mi’raj. Ada juga bangsal Jinem, atau Pendopo, yang digunakan untuk menerima tamu, penobatan sultan, serta berbagai acara keagamaan seperti Maulid Nabi. Pusat keramahtamahan ini berada di tengah kompleks bangunan bernama Siti Hinggil.
Ciri khas keraton di Cirebon adalah piring-piring porselen asli Tiongkok yang menghiasi dindingnya. Piring-piring ini juga menjadi hiasan umum di berbagai situs bersejarah di Cirebon. Selain itu, keraton-keraton di Cirebon selalu diarahkan ke utara, dengan patung macan yang berdiri di halaman sebagai simbol Prabu Siliwangi. Alun-alun selalu menjadi tempat berkumpulnya masyarakat, sementara pasar menjadi pusat ekonomi. Dan tentu saja, sebuah masjid selalu berdiri di dekat keraton.
Keraton Kanoman, dengan kompleksnya yang mengandung jejak-jejak masa lalu, menyimpan sejarah yang tak ternilai. Dalam sejarah dan warisan Islam, keraton ini memainkan peran penting yang tak boleh dilupakan. (hdl)