Surabaya (pilar.id) – Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) telah menjadi platform bagi mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan seni mereka. Karena alasan ini, Universitas Airlangga terus elah mendorong para mahasiswanya untuk aktif dalam PKM.
Pada tahun ini, 45 kelompok mahasiswa UNAIR menerima bantuan dana dari pemerintah dalam berbagai bidang PKM.
Salah satu kelompok ini, PKM-KC (Karsa Cipta), dipimpin oleh Felicia Zevanya Maber Sitompul dan beranggotakan Bima Sakti Putra Yusuf, Ni Made Prami Dewanggi, Aulia Widi Mangesti, serta Rayhan Ajie Nugraha. Mereka memiliki bimbingan dari seorang dosen Fakultas Psikologi UNAIR, Pramesti Pradna Paramita MEdPsych PhD.
Judul PKM kelompok Felicia adalah ‘Aplikasi Pelatihan Interaksi Sosial Dasar berbasis Augmented Reality untuk Anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD)’. Dijelaskan, mereka memilih topik ini karena autisme terus meningkat setiap tahun.
“Kami ingin membantu anak-anak dengan autisme agar dapat bersosialisasi dengan teman sebaya mereka. Kami juga ingin menghilangkan kesalahpahaman masyarakat tentang autisme, yang sering dianggap sebagai penyakit,” kata Felicia.
Sementara menurut Bima, ASD sebenarnya bukan penyakit, melainkan cara anak-anak melihat dunia yang berbeda dari anak-anak pada umumnya.
Sebelumnya, intervensi berbasis augmented reality untuk anak-anak dengan ASD di Indonesia hanya berfokus pada kemampuan belajar, bukan kemampuan sosial.
“Augmented reality adalah pengalaman interaktif yang menambahkan informasi visual, suara, atau rangsangan lain melalui perangkat gawai,” jelas Bima.
Pengguna yang menggunakan augmented reality, tambah Ni Made, dapat merasakan pengalaman yang lebih mendalam dengan rangsangan tambahan yang disediakan oleh teknologi augmented reality. Ini mencakup intervensi seperti cerita sosial dan video modelling dalam aplikasi yang mereka kembangkan.
Sedangkan Aulia menjelaskan bahwa penelitian kelompok mereka juga dapat bermanfaat bagi anak-anak dengan gangguan lain yang mirip dengan ASD, seperti sindrom Asperger. Namun, perlu dilakukan penilaian khusus terlebih dahulu.
“Menurut buku panduan DSM-5, sindrom Asperger sekarang digolongkan sebagai bagian dari kelompok ASD. Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian untuk memastikan apakah prototipe kami sesuai dengan kebutuhan anak-anak dengan sindrom Asperger,” jelasnya.
Rayhan mengungkapkan bahwa penelitian mereka bertujuan untuk mempromosikan inklusivitas dalam masyarakat. Aplikasi yang mereka beri nama AurA ini juga dapat berfungsi sebagai alat pendidikan psikologis bagi orang tua dan terapis.
“Mudah-mudahan aplikasi AurA ini dapat membantu individu dengan autisme dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka, setidaknya dalam hal keterampilan sosial dasar,” kata Rayhan.
Mereka berharap bahwa prototipe ini akan berkembang menjadi aplikasi yang dapat melayani berbagai individu dengan gangguan ASD dari berbagai latar belakang. (usm/hdl)