Surabaya (pilar.id)– Produksi batu bara di yang dihasilkan oleh Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU) di Indonesia terbilang cukup besar dan tersebar di beberapa wilayah. Namun limbah pembakaran dari produksi sering kali menumpuk dan biarkan begitu saja.
Peluang itulah yang dilihat oleh Antoni, selaku guru besar bidang Ilmu Teknik Sipil di Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya ini, untuk memanfaatkan limbah padat yang dikenal sebagai abu terbang atau fly ash sebagai bahan dasar pembuatan bahan bangunan. “Jika dibuang begitu saja, dan dibiarkan menumpuk, abu terbang akan menyebabkan pencemaran lingkungan secara masif dan serius,” ujar Antoni
Lebih rinci, ia menyampaikan hasil temuannya, jika jumlah abu terbang yang di hasilkan Indonesia berjumlah kurang dari 8,7 juta ton per tahun, namun yang berhasil di olah sekitar 10 persen, jika dibandingkan dengan China yang mampu memanfaatkannya, hingga 70 persen.
Dalam pemanfaatannya, Antoni yang gelar profesornya akan di kukuhkan oleh UK Petra di tanggal 11 Maret ini, mengatakan jika sebelumnya abu terbang tergolong limbah B3 atau limbah berbahaya. “Namun sekarang, berdasar PP Nomor 22 tahun 2021, abu terbang tidak lagi dikategorikan sebagai limbah, jadi boleh dimanfaatkan tetapi haru dengan ijin,” jelasnya.
Tak hanya itu, menurut Antoni dalam pemanfaatan abu terbang hasil PLTU perlu memahami kualitas dengan baik, karena tak semua abu terbang memiliki kualitas baik dan seragam.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan sumber batubara, temperatur pembakaran batubara, dan variabel lainnya. Biasanya beton yang menggunakan abu terbang, akan berwarna agak kecoklatan dan terjadi peningkatan mutu pada umur lanjut. “Maka dari itu abu terbang, perlu melalui berbagai tahap evaluasi terlebih dahulu, jika sudah bisa memanfaatkannya dengan maksimal maka produksi beton di Indonesia bisa dilakukan secara massal,” terang pria yang menyelesaikan Doktornya di Hokkaido University, Jepang ini.
Ia juga menyampaikan, bila pemanfaatan abu terbang dalam pembuatan beton di Indonesia sudah dilakukan, namun kadarnya rendah, antara untuk menggantikan semen sebesar 20-30%. Namun menurut risetnya, kadar penggunaan dapat ditingkatkan, hingga 100 persen.
“Agar kualitas beton tetap bagus, kualitas abu terbang perlu melalui proses quality control. Dalam penelitian, kami mengembangkan metode quality control mutu abu terbang yang dapat dilakukan dengan cepat, yang kami sebut dengan Rapid Indicator,” kata Antoni juga menjabat sebagai kepala Laboratorium Beton dan Konstruksi UK Petra.
Adanya inovasi ini, Antoni berharap semakin banyak yang tertarik dalam penggunaan abu terbang sebagai bahan campuran dari bahan bangunan yang dapat mencegah meningkatnya efek rumah kaca dari pembuatan semen yang menghasilkan karbondioksida.
“Pemanfaatan limbah abu terbang sebagai material pengganti sebagian semen, mampu menghasilkan mutu beton yang baik dan tahan lama serta mempunya nilai ekonomis tinggi, serta lebih ramah lingkungan,” pungkas Antoni. (jel/din)