Gresik (pilar.id) – Jauh sebelum hiruk pikuk modernisasi, Pulau Bawean dikenal sebagai tempat berlindung para pelaut, termasuk pelaut Majapahit. Saat badai datang, di pulau inilah mereka bersandar. Keberadaan Bawean pun tertulis jelas dalam Negarakertagama, sebagai pulau tempat melihat matahari.
Seiring waktu, Bawean dikenal sebagai bumi leluhur pelaut-pelaut hebat. Pulau yang berada di perairan Gresik, Jawa Timur ini jadi rumah banyak suku, mulai dari Palembang, Mandailing, Bugis, Mandar, Madura, Banjar dan Jawa.
Pulaunya yang berbukit seolah melindungi akulturasi penduduk asli Pulau Bawean dengan para pendatang. Tempat lahirnya suatu rumpun etnis yang unik, termasuk bahasa endemik, yang sulit ditemukan di tempat lain.
Laut dan pantai Pulau Bawean juga melengkapi imaji alam tropis yang menjanjikan bisnis pariwisata. Kelak, setelah pandemi berakhir, Bawean tentu kembali jadi destinasi pilihan bagi banyak orang. Apalagi di salah satu sudut dataran tingginya, ada Danau Kastoba, danau air tawar yang dikelilingi bukit indah.
Bawean memiliki luas area sekitar 19 ribu hektar dan kini dihuni sekitar 70 ribu orang. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan dan petani. Sejumlah orang meyakini, Bawean adalah rumah bagi para perantau sejati.
Maklum, banyak laki-laki pulau ini memilih merantau ke Malaysia dan Singapura demi menghidupi anak dan istri. Karena itu pula, sehari-hari, kaum perempuan lebih sering nampak dan mendominasi.
Di Pulau Bawean, sosok Sunan Bonang dikenal kuat dan melekat dalam kehidupan masyarakat. Ajaran Islam yang ia bawa begitu mengakar bahkan membalut budaya yang berkembang. Nilai Islam anggota Wali Sembilan ini tumbuh menjadi dasar dari laku masyarakat. (ful/hdl)