Surabaya (pilar.id) – Sinar keemasan matahari sore menyiram sebagian lapangan futsal di kawasan Kupang Gunung Timur, Surabaya. Firda, siswi kelas 7, bersama dua teman perempuan lainnya, Fila dan Dita, bercengkerama di sisi utara lapangan. Di dekat kawat pembatas yang terkoyak lebar.
Beberapa saat kemudian Firda sudah menggocek si kulit bundar. Beradu kaki dengan lawan main yang semuanya laki-laki. Lapangan futsal dengan matras empuk ini menjadi satu diantara fasilitas umum yang disediakan pemerintah kota Surabaya pasca penutupan kawasan lokalisasi Dolly pada 2014 lalu.
Lapangan futsal menjadi tempat bermain anak-anak dan remaja di sekitar kampung Kupang Gunung dan Jalan Jarak. “Sekarang lebih sering main di sini (lapangan futsal). Dahulu nggak ada tempat bermain seperti ini,” tutur Firda.
Fery, warga Kupang Gunung Timur 1 mengatakan, lapangan futsal itu sendiri adalah bekas bangunan wisma Madonna. “Kalau taman bermain anak-anak di sebelah selatan itu bekas wisma Anggrek dan Wisma Gaza,” jelas Fery.
Di masa lalu, wisma adalah tempat hiburan dan pusat transaksi seks komersial. “Dahulu, tiap lepas maghrib, kampung (lokalisasi) ini mulai ramai. Musik keras terdengar sampai dini hari. Sekarang jauh lebih tenang,” kata Sugianto, anggota Linmas yang bekerja sejak 2014, pasca penutupan lokalisasi.
Sewindu kemudian, bekas lokalisasi yang menggeliat sejak tahun 1960an ini berjalan layaknya kampung-kampung di Surabaya. Di tengah isu bangkitnya kembali lokalisasi yang mengiringi perjalanan kampung ini, anak-anak dan remaja menikmati masa bermain dengan maksimal.
Sejumlah wisma kini berganti menjadi pusat industri kecil dan rumah tinggal biasa. Sebagian lagi tutup dan erbengkalai. (muk/hdl)