Jakarta (pilar.id) – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan meminta pemerintah untuk mewaspadai bahaya stagflasi, yakni ancaman inflasi global yang tengah membayangi pertumbuhan ekonomi dunia.
Apalagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini masih kekurangan lebih dari Rp100 triliun, akibat menanggung beban subsidi dan kebutuhan untuk perlindungan sosial yang semakin meningkat.
Stagflasi ditandai oleh inflasi yang tinggi, tetapi pertumbuhannya rendah. Kemudian permintaan barang ekspor menurun, akibatnya penerimaan pemerintah juga akan menurun.
“Sementara inflasinya tetap tinggi, harga-harga tetap tinggi. Hal ini akan menyebabkan gap yang sangat besar antara penerimaan dan pengeluaran. Ini bahaya yang kita perlu waspadai,” jelasnya, di Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Menurut Fadhil, larangan ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya yang sempat diberlakukan oleh mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu, merupakan kesalahan besar dan kerugian bagi Indonesia karena menyebabkan kehilangan devisa negara sebesar 2 miliar Dollar AS.
Sebagai produsen terbesar minyak nabati dunia, lanjutnya, Indonesia harus bisa memanfaatkan secara maksimal besarnya permintaan pasar dunia saat ini, agar mendapatkan penerimaan besar di luar pajak guna memperkuat APBN.
“Tapi pemasukan itu, harus ditabung Pak Jokowi jangan dihambur-hamburkan untuk proyek-proyek yang tidak perlu seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), kalau digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat tidak masalah,” ujar Fadhil.
Senada, mantan Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Tiongkok Imron Cotan menambahkan, stagflasi itu ditandai tiga fenomena yang sangat fundamental, yakni pengangguran tinggi, inflasi tinggi, dan pertumbuhan lemah.
“Jadi kalau Presiden Jokowi sedang mencoba mengakomodasi partai politik untuk berpartisipasi dalam kabinetnya, itu adalah dalam rangka menghadapi turbulensi dari dampak perang Rusia-Ukraina yang akan datang,” kata Imron Cotan.
Imron Cotan memprediksi perang Rusia-Ukraina masih akan berlangsung lama, karena Rusia ingin mengakhiri dominasi Amerika Serikat (AS) dalam energi maupun tujuan strategis lainnya. Menurutnya, Ukraina memang didesain untuk menjadi kuburan oleh Rusia, seperti halnya Afghanistan oleh Amerika.
“sehingga Ukraina tidak dimanfaatkan Amerika dan Nato dalam jangka panjang supaya tidak menjadi ancaman bagi Rusia,” kata dia. (ach/hdl)