Jakarta (pilar.id) – Studi Bank Dunia mengungkapkan, terdapat kerugian sebesar USD 1,26 triliun per tahun di negara-negara berkembang akibat korupsi, penyuapan, pencurian, maupun penggelapan pajak.
Di sisi lain, dari sebaran kasus korupsi berdasarkan lembaga, menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2004 hingga 2022 banyak didominasi oleh lembaga pemerintah pusat yakni sebanyak 409 kasus.
Jika dilihat berdasarkan profesi atau jabatan, pelaku korupsi, berasal dari sektor swasta dengan menduduki peringkat tertinggi, yakni 310 kasus sejak tahun 2004 hingga Januari 2022.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM) Prof Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan Indonesia sudah memiliki Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) yang mencantumkan arah dan strategi, implementasi, tujuan, sasaran, dan indikator evaluasi, serta koordinasi untuk angka pendek dan menengah.
Pemantauan dan evaluasi implementasi Stranas-PK, lanjut Edward, tidak hanya dilakukan oleh Setnas-PK, akan tetapi juga dilakukan oleh NGO/LSM sebagai organisasi masyarakat sipil. Karena itu, partisipasi masyarakat paling signifikan terdapat pada penegakan hukum dan reformasi birokrasi, meski demikian akses dan pelibatan masyarakat masih belum optimal.
“Dan terakhir dampak yang dirasakan masyarakat, baru pada fokus penegakan hukum dan reformasi birokrasi, sedangkan dampak pada fokus lainnya belum dirasakan,” kata Edward, di Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, saat ini sudah terjadi perbaikan pada sistem digitalisasi dan transparansi pada sistem pelacakan di Pelabuhan. Namun, ia juga menekankan pentingnya law enforcement dan komitmen dari pemerintah untuk konsisten dalam mengimplementasikan Stranas-PK.
“Tantangan masih terjadi pada sistem tata niaga impor pangan, sistem procurement pemerintah, dan sektor perizinan yang masih perlu terus disempurnakan,” kata Pahala.
Chief Intergovernmental Relations UN Global Compact Olajobi Makinwa menyatakan, transparansi dan akuntabilitas adalah dua sisi mata uang yang sama pentingnya. Transparansi diperlukan agar dapat meminta pertanggungjawaban lembaga, manajer, atau pemimpin dalam menjalankan tugas yang diamanatkan. Namun, transparansi tanpa akuntabilitas tidak ada artinya.
“Korupsi akan menjadi kanker di seluruh dunia, transparansi dan akuntabilitas penting untuk didukung oleh aksi kolektif bersama sektor swasta,” ujar Olajabi.
Direktur Eksekutif Indonesia Global Compact Network (IGCN) Josephine Satyono menuturkan, pihaknya telah melakukan diskusi pada Juli dan Agustus 2022 yang berhasil mengidentifikasi indikator korupsi terutama di sektor agribisnis. Temuan utama dari diskusi tersebut adalah kurangnya integritas, konflik kepentingan, sistem pelaporan yang tidak efektif, minimnya upaya tindak lanjut, lemahnya data, serta kebijakan yang tidak konsisten dan tumpang tindih.
“Untuk itu, diskusi tersebut juga menyepakati perlunya aksi kolektif dari berbagai pihak, mengingat korupsi adalah permasalahan sistemik yang melibatkan banyak pemangku kepentingan,” kata Josephine. (ach/din)