Di suatu siang yang biasa saja, saya tertegun cukup lama ketika melihat salah satu postingan yang muncul di beranda facebook. Postingan tersebut membagikan sebuah gambar poster acara yang diadakan salah satu jurusan di fakultas saya, lengkap dengan caption dekripsi.
Biasanya, postingan seperti ini saya abaikan karena tak terlalu menarik minat. Tetapi siang itu, berbeda. Ketika akan melakukan scrolling up melewati postingan tesebut, ada kata dan angka di deskripsi yang terasa menusuk mata.
Seminar bertajuk Menjemput Jodoh Dunia Akhirat tersebut dideskripsikan telah mencapai peserta lebih dari 1000 orang dan akan segera di selenggarakan beberapa hari ke depan. Saya menatap kalimat tersebut cukup lama. Dua tiga kali membacanya, dan angka itu tetap tak berubah. Tetap seribu. Bayangkan, seribu, jeh! Enol-nya tiga, lho!
Angka itu, benar-benar mengagetkan bagi saya. Menarik, sekaligus tak menarik. Lho, piye, tho~
Begini, di kampus Islam negeri satu-satunya di Surabaya ini, sebuah acara mendapat peserta hingga seribu, bukanlah yang pertama kali. Beberapa tahun lalu, saya juga pernah melakukannya. Ketika itu, saya terlibat menjadi panitia acara bincang-bincang dengan Dahlan Iskan. Peserta yang terecatat sejumlah 1500 orang. Sedang yang datang dan tidak tercatat, lebih banyak lagi. Sehingga, jumlah peserta itu, tak begitu menarik.
Tetapi, angka seribu ini juga menarik. Sebagai kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa dan pangsa pasar utama juga mahasiswa, bisa mengumpulkan dan menggerakkan seribu orang itu sudah sebuah prestasi. Bandingkan dengan seminar bertema kebangsaan, sejarah, atau peran mahasiswa untuk masyarakat dan kepenulisan yang mentok berkutat di angka ratusan. Mereka-mereka itu, bisa dapat lima ratus viewer peserta saja sudah sujud syukur.
Baiklah, meski menurut saya wagu, mungkin seminar bertema nikah itu, dianggap sejalan dengan keilmuan penyelenggara; Hukum Pernikahan Islam. Mungkin juga, penyelenggara merasa bahwa pertanyaan kapan nikah yang rutin mendera di setiap pertemuan keluarga, sudah memasuki tahap berbahaya. Sehingga, permasalahan sosial tersebut harus segera dicarikan solusi.
Atau, mungkin juga, keberhasilan Harian Surya dan salah satu Pesantren Mahasiswa menyerap ribuan peserta di seminar bertema nikah tahun sebelumnya, menjadi alasan mereka menggelar kegiatan dengan tema serupa. Saya tak pernah tahu, sekaligus tak merasa perlu tahu. Biarlah itu menjadi rahasia. Sebab hidup ini menarik karena hal-hal rahasia lebih banyak porsinya dari pada yang kita mampu ketahui, bukan.
Melihat besarnya minat mahasiswa mengikuti seminar dan acara-acara bertema nikah tersebut, tetiba muncul sebuah ide dipikiran saya. Bukan. Bukan untuk ikut menjadi peserta dan berharap menemukan jodoh di sana. Tetapi muncul ide untuk memberikan julukan, nama atau gelar bagi mereka.
Mahasiswa-mahasiswi unyu dan nikah-able tersebut, saya sebut sebagai Mahasiswa Kemraben. Yakni, mahasiswa yang sudah keburur rabi (nikah). Mereka adalah spesies mahasiswa yang selalu taat aturan, rajin kuliah, dan tak lelah mencari jodoh. Prinsipnya, lebih cepat lebih baik.
Fenomena makin laku dan diminatinya seminar-seminar pra-nikah, nikah muda dan menemukan jodoh ideal di kalangan mahasiswa tersebut, membuat saya tercengang. Kaget, sekaligus merasa wagu.
Sejauh yang bisa saya ingat, beberapa tahun lalu, urusan nikah adalah hal yang jauh dari pembicaraan serius. Disetiap diskusi, ngobrol warung kopi hingga pertemuan di kamar-kamar kos, pernikahan tak pernah dibahas. Perbincangan kami banyak berkutat mengenai mimpi, cita-cita, keinginan kuliah di luar negeri, kondisi pergerakan dan organisasi mahasiswa, dosen mana yang ramah mana yang menyebalkan, biaya kuliah yang makin mahal, dugaan korupsi kampus, sampai siapa itu Tuhan.
Urusan nikah, benar-benar tersisihkan. Kejombloan pun ketika itu, belum terasa begitu mengenaskan seperti yang dirasakan dan digambarkan kids jaman now, belakangan ini. Bahkan, jika ada teman kuliah yang belum lulus sudah menikah, kami selalu heboh. Bukan baper, atau kepingin, tetapi gak habis pikir. Kok, bisa mereka yang ngurusi kuliah saja belum kelar, sudah berani menikah.
Pernikahan ketika itu, kami anggap seperti pintu menuju segala keterbatasan. Dengan menikah, kami gak akan bisa lagi jalan-jalan, gak akan bisa lagi bergerak bebas, berdiskusi sampai pagi, mendemo birokrasi. Tetapi, semuanya berubah setelah Negara Api menyerang. Kini, menikah adalah salah satu urusan terpenting seluruh mahasiswa.
Dari realitas jaman now tersebut, mahasiswa yang identik dengan sebutan agent of change dan iron stock, kelihatannya tak lagi peduli dengan isu-isu sosial. Mereka makin terasing dari masyarakat. Tak lagi peduli dengan relitas masyarakat sekitar, dan lebih peduli pada urusan melepas kejombloan mereka masing-masing.
Bukan lagi iron stock tetapi mantu stock. Dari pada berbaur dengan masyarakat guna meneliti masalah apa saja yang ada di sana, mereka lebih sibuk mendekati calon-calon mertua. Mencitrakan diri sebagai calon menantu paling keren, paling alim, paling ideal, paling cocok.
Dari pada bersikap kritis pada kampus dan memberikan kritikan untuk kebaikan bersama, mereka lebih sibuk menjilat pantat dosen, birokrat kalau perlu rektor. Mengemis dengan takzim supaya bisa mendapat nilai yang baik dan lulus cepat. Siapa tahu bisa diangkat pegawai dan tidak perlu susah-susah mencari kerja. Tujuan utamanya tentu saja supaya bisa segera menikah. Untung-untung bisa menjadi menantu dari salah satunya.
Oleh karena itu, saya sarankan bagi para alumni seminar pra-nikah apapun judulnya untuk mendirikan sebuah organisasi, komunitas, atau perkumpulan. Fungsinya, untuk saling membantu menemukan jodoh terbaik dunia-akhirat bagi masing-masing anggota. Dari anggota, oleh anggota, untuk anggota.
Nah, untuk nama organisasinya, saya usul diberi nama Persatuan Mahasiswa Kemraben Indonesia (PMKI). Tentu saja, anda tidak perlu berterima kasih untuk saran tersebut, saya beri gratis, kok. ***