Jakarta (pilar.id) – Pengamat politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, partai politik (parpol) besar terjebak pada zona nyaman kekuasaan. Sehingga akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan usai Pemilu 2024.
Mereka pun enggan merevisi Undang Undang Pemilu untuk mempersempit ruang kompetisi. “Tapi ini menjadi dilema dan menggali kuburnya sendiri, jika hasilnya di Pemilu 2024 tidak sesuai yang diharapkan,” kata Hurriyah di Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Hurriyah berpandangan UU Pemilu No.7 Tahun 2017 tidak hanya menyulitkan parpol baru, tetapi juga parpol lama dan menciptakan tantangan berat bagi semua pihak. Karena itu, pemilu serentak perlu dipertimbangkan kembali, mengingat dampak kerumitan yang ditimbulkan sangat besar.
“Efektivitas pemerintahan yang dihasilkan juga tidak bisa menjawab problem-problem yang kita dihadapi sekarang. Pemilu 2024 super kompleks, menjadi pemilu yang super eksperimental,” katanya.
Menurut dia, pemisahan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) di Pemilu 2024 akan mendorong terjadinya efektifitas pemerintahan yang dihasilkan, serta akan memperkuat sistem presidensial, baik penguatan legislatif maupun eksekutif.
“Kita perlu mengkaji lagi untuk memberi kesempatan lebih banyak tujuan penyelenggaraan pemilu itu tercapai,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak awalnya bertujuan untuk menghilangkan kejenuhan publik terhadap pelaksanaan pemilu, pilpres maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bisa digelar setiap tahun dengan anggaran yang sangat besar. Padahal, pemilu serentak sebenarnya ingin memberikan pendidikan politik untuk mengurangi potensi konflik.
“Menghilangkan politik identitas yang mulai ada di pemilu 2014, berlanjut di pilkada 2017 dan pemilu 2019. Ini saja belum selesai, dan akan kita hadapi lagi di pemilu 2024,” kata Ray Rangkuti.
Ray Rangkuti menegaskan, persyaratan PT 20 persen untuk presiden dan PT 4 persen untuk parlemen tidak sesuai yang diharapkan publik. Seharusnya, menurut Ray Rangkuti, aturan yang ditetapkan adalah 0 persen.
“Aturan ini dikunci dengan persyaratan parliamentary threshold dan presidential threshold yang tinggi. Jadi ini bukan bagian dari kesuksesan kita di Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkapnya.
Ray Rangkuti mendorong dilakukan lagi revisi UU Pemilu, namun mengingat waktunya sekarang sudah mepet dengan tahapan pemilu 2024, maka tidak mungkin melakukan perubahan. Sehingga, revisi UU Pemilu tetap harus dilakukan setelah 2024. (ach/hdl)