Yogyakarta (pilar.id) – “Siap, siap, siap,” ujar Soedarjo setengah berteriak, ketika menirukan suara prajurit gerilya saat tentara Belanda menyerbu desanya. Ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 pecah, Soedarjo masih kelas 3 SMP.
Soedarjo, 90 tahun, merupakan generasi keempat pewaris sebuah bangunan lawas, yang terletak di Tamantirto, Kalasan, Sleman. Bangunan lawas itu kelak lebih dikenal dengan nama Limasan Jaya Wirya. Sebuah bangunan berarsitektur Jawa, yang menjadi saksi sejarah pertempuran TNI dan rakyat Jogja melawan penjajah Belanda pada Serangan Umum 1 Maret 1949.
Nama Jaya Wirya yang disematkan pada limasan tersebut sebenarnya berasal dari nama kakek Soedarjo, pemilik rumah. Pada medio 1940, Jaya Wirya juga menjabat sebagai Lurah di Desa Tegalrejo, Tamantirto.
Pada masa itu, perannya tak hanya mengurusi keperluan administrasi desa belaka. Ia juga turut mengkoordinir warga yang turun membantu pasukan TNI saat Serangan Umum 1 Maret dilancarkan.
Wilayah Tegalrejo yang saat itu menjadi kediaman Jaya Wirya, dinilai sebagai tempat strategis untuk memantau pergerakan Belanda. Jaraknya, kurang dari 4 km dari pos terdekat tentara Belanda yang dibangun di Daerah Bogem. Pada masa itu tak banyak bangunan berdiri, sehingga memudahkan proses pemantauan.
“Itu tahun 1949, itu di sini memang ada pasukan MA (Militer Akademi). Di sini itu dulu garis terdepan,” ujar Soedarjo setengah mengingat. Mengingat rangkaian peristiwa yang kelak akan merubah hidupnya, juga hidup bangsa Indonesia.
***
Belanda melalui Agresi Militer II, mampu menduduki wilayah Yogyakarta yang kala itu berstatus Ibukota negara. Pemimpin Indonesia saat itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian ditangkap oleh Belanda. Melalui propagandanya, Belanda juga menyebutkan bahwa kehadiran TNI sudah tidak ada.
Dikutip dari Museum Vredeburg, selaku Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan surat kepada Letnan Jendral Sudirman untuk meminta izin menyerang balik pihak Belanda. Jendral Sudirman kemudian menyetujui, lantas meminta Sri Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.
Perundingan antara para petinggi militer dan pejabat pemerintahan kemudian melahirkan sebuah keputusan: serangan dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949.
Para pasukan yang diisi oleh TNI, Laskar, serta rakyat bersenjata, kemudian menepi ke bukit, lembah dan pelosok daerah. Semuanya menunggu instruksi untuk melakukan penyerangan.
Tepat pukul 06.00 pada tanggal 1 Maret 1949, sirine dan kentongan ramai-ramai dibunyikan. Menjadi tanda serangan besar-besaran demi merebut kembali Yogyakarta dimulai.
Para pejuang serempak menyerbu tentara Belanda dari segala penjuru Yogyakarta. Mereka mengambil alih pos-pos yang dihuni tentara Belanda. Tak terkecuali sebuah pos tentara Belanda di Desa Bogem, tak jauh dari Soedarjo berada.
Serangan tersebut akhirnya mampu memukul mundur tentara Belanda dari Yogyakarta dalam waktu enam jam. Tepat pada pukul 12.00 TNI meminta para pejuang untuk mengosongkan Yogyakarta dan kembali ke pangkalan gerilya masing-masing.
***
Sebagai pelajar SMP, serangkaian kejadian pada masa itu melekat kuat pada ingatan Soedarjo. Ia masih ingat betul pada tanggal 1 Maret 1949, TNI dan prajurit gerilya berkumpul di naungan pohon sawo halaman rumahnya, sebelum berangkat ke medan pertempuran.
“Sebelum masuk ke sana (medan pertempuran) makan-makan di sini. Saya masih inget, di halaman ini,” sambil menunjuk halaman depan rumahnya.
Soedarjo mengaku hampir setiap hari rumahnya selalu digunakan sebagai tempat berkumpul oleh beberapa TNI dan prajurit gerilya. Salah satu prajurit yang pernah singgah di sana adalah Herman Yohannes, juru ledak kepercayaan Letkol Soeharto yang nanti akan tercatat sebagai Presiden RI.
Salah satu aksi heroik Johannes yakni meledakkan bom di jembatan Kalasan, beberapa saat sebelum Serangan Umum 1 maret 1949 dilancarkan. Lantaran aksi tersebut, bala bantuan tentara Belanda dari arah timur gagal memasuki wilayah Yogyakarta.
“Pak Yohannes sebelum ke sana (meledakkan jembatan) itu istirahat nya disini,” kenang Soedarso.
Serangkaian aksi heroik ataupun kejadian pilu sudah Soedarso alami di rumah tersebut. Rumahnya, Limasan Jaya Wirya kini menjadi saksi sejarah sekaligus menjadi pengingat akan perjuangan TNI dan prajurit gerilya menundukkan tentara Belanda.
Soedarso kini tak perlu lagi mendengar desingan senjata. Tugasnya hanyalah merawat dan menjaga bangunan tersebut agar senantiasa berdiri kokoh. (fir/hdl)