Di Tegucigalpa atau Glasgow, alasan dan penjelasan-penjelasan tak terlampau dibutuhkan untuk sebuah kebencian dalam sepakbola. Kebencian, dan kemudian kekerasan, seperti ada dan acak keluar begitu saja dari sebuah kotak pandora.
Senin, 9 Juni 1969. Tegucigalpa, ibu kota Honduras. Ini pertandingan pertama tim nasional Honduras melawan El Salvador untuk memperebutkan satu tiket ke Pialad Dunia di Meksiko tahun berikutnya. Dunia tak menaruh perhatian untuk sebuah laga dua negara yang sama-sama tak punya nama tenar di dunia sepakbola.
Luis Suarez, seorang pengamat politik nun jauh di Meksiko sana, seperti melontarkan sebuah nujum kepada Ryszard Kapuscinski, seorang jurnalis Polandia: “Sebentar lagi akan terjadi perang.”
Pertandingan itu berakhir 1-0 untuk kemenangan Honduras. Para pemain El Salvador bermain loyo, setelah malam sebelum pertandingan, hotel mereka menginap didatangi sejumlah pendukung timnas Honduras yang menyambitkan batu-batu ke jendela, dan klothekan, memukul kaleng-kaleng kosong. Sebuah malam yang berisik.
Dunia tetap tak menaruh perhatian, ketika Amelia Bolanios, di depan televisi di rumahnya di El Salvador sana, mengambil sebuah pistol di laci meja kerja sang ayah dan menembak dadanya sendiri. Dan yang terjadi berikutnya adalah dramatisasi: cerita menyebar, bahwa gadis muda itu tak tahan melihat tanah airnya bertekuk lutut dalam pertandingan sepakbola melawan Honduras.
Tak ada yang tahu pasti alasan Amelia mengakhiri hidupnya. Ia hanya mati sesaat setelah Roberto Cardona, ujung tombak Honduras, menjebol gawang El Salvador. Adakah ia mati demi sepakbola? Adakah ia seorang patriot, pahlawan?
Kita tak bisa menerka. Sepakbola dan kematian seperti tak membutuhkan penjelasan-penjelasan di El Salvador. Termasuk, ketika Amelia dimakamkan dengan panji-panji kenegaraan: pasukan pengantar jenasah berderap dengan langkah rapi menuju kuburan, dan presiden El Salvador serta para menterinya mengikuti di belakang peti mati yang dibalut bendera negara.
Laga kedua Honduras melawan El Salvador, kali ini di Stadion Flor Blanca San Salvador, dipenuhi puluhan ribu orang yang tak ubahnya para demonstran. Mereka berteriak histeris, mengusung foto besar Amelia Bolanios, menyumpah-serapah pemain-pemain Honduras. Tim nasional Honduras harus diangkut dengan kendaraan taktis untuk menuju stadion.
El Salvador menang 3-0. “Untunglah kami kalah,” keluh Mario Griffin, pelatih Honduras. Namun, para pendukung Honduras yang datang ke sana tak seberuntung itu. Mereka dihajar tunggang-langgang oleh para pendukung El Salvador: dua tewas, ratusan luka-luka, 150 mobil milik pendukung Honduras dibakar.
Tak butuh waktu lama. Perbatasan dua negara ditutup beberapa jam kemudian. Kapuscinski terbang ke Tegucigalpa, dan menjadi wartawan asing pertama dan satu-satunya yang meliput sebuah perang seratus jam antar dua negara bertetangga, dalam arti sebenarnya, yang dipicu oleh sebuah pertandingan sepakbola. Kapuscinski menuliskan reportasenya dalam buku The Soccer War.
Di Glasgow, Skotlandia, selama turun-temurun, generasi demi generasi, para pendukung Rangers dan Celtics saling serang. Mereka tinggal di bawah langit yang sama, bertetangga, di bawah kibaran bendera nasional yang sama. Namun para pendukung Rangers dengan kibaran bendera biru atau oranye selalu menyanyikan ejekan untuk lawan mereka: lutut kami berkubang darah orang Feni. Dan para pendukung Celtics dengan kibaran bendera hijau meneriakkan kalimat yang tak pernah berubah: Oranye haram jadah.
Glasgow sebuah kota yang terbelah dengan ironi. Di sini para pemikir dunia modern seperti Adam Smith lahir. Sepakbola menjadi industri. Namun di sini pula sepakbola tak pernah beranjak dari persengketaan agama abad 16: Rangers mewakili komunitas Protestan dan Celtics mewakili komunitas Katolik. “Inilah perang yang belum tuntas antara Katolik dengan gerakan reformasi Protestan,” tulis jurnalis Majalah The New Republic, Franklin Foer, dalam bukunya.
Akhir pekan di Glasgow, ketika Rangers berhadapan dengan Celtics, bangsal gawat darurat rumah sakit mendadak lebih sibuk dari biasanya. Pasien yang dikirim ke sana bisa melonjak sembilan kali lipat. Foer mencatat: selama tujuh tahun terakhir 18 orang pendukung dari kedua kubu tewas.
Alasan dan penjelasan-penjelasan tak terlampau dibutuhkan untuk sebuah kebencian dalam sepakbola. Karena sepakbola sendiri sebenarnya diperalat untuk menjadi simbol kebencian, ketakutan terhadap yang dianggap liyan (the others), dan peneguhan dominasi satu pihak di atas yang lain.
Di El Salvador, kebencian karena sepakbola menutupi dampak kebijakan reformasi tanah pemerintah Honduras yang menyebabkan 300 ribu imigran El Salvador yang sudah menetap dan memiliki tanah di sana kembali ke negaranya. Kebencian karena perasaan terusir warga El Salvador dari Honduras mengatasnamakan sepakbola dan nasionalisme.
Di Skotlandia, Franklin Foer menulis, Glasgow Celtic dibentuk oleh Romo Walfrid karena takut. Ia berharap sebuah klub sepakbola yang juara bisa menghancurkan mitos inferioritas Katolik terhadap Protestan di Skotlandia. Dan, kaum Protestan membalasnya dengan menjadikan Rangers sebagai simbol perlawanan. Secara telak, menurut Foer, Rangers menggantikan simbol Gereja Protestan di Skotlandia.
Kebencian memang tak membutuhkan penjelasan. Setiap penjelasan tak selamanya menjernihkan karena selalu dianggap sebagai klaim dan pembelaan diri. Tapi kekerasan juga bukanlah jawaban dalam sebuah rivalitas sepakbola.
Selama bertahun-tahun kemudian setelah insiden pertandingan Pra Piala Dunia, El Salvador dan Honduras terlibat ketegangan di perbatasan. The Old Firm, pertemuan antara Ranger dan Celtic, masih berdarah-darah.
Bisakah kita menghentikan permusuhan yang memperalat simbol-simbol sepakbola itu? Di El Salvador dan Honduras, perang berhenti setelah enam ribu orang tewas, dua belas ribu orang terluka, lima puluh ribu orang kehilangan rumah dan tanah. Desa-desa hancur.
Di Glasgow, Graeme Souness, pelatih Rangers, dengan nada putus asa mengatakan: “Fanatisme akan selalu bercokol di Ibrox (stadion kandang Rangers).”
Saya membayangkan teori politik Antonio Gramsci, pemikir Marxis Italia, dipraktikkan di sini: kepatuhan (konsen) hanya bisa diciptakan melalui serangkaian tindakan koersif (pendisplinan). Negara perlu menegakkan hegemoni di atas para suporter sepakbola yang mulai berpikir chauvinis dan primordial. Di Inggris, tindakan represif aparat terhadap pelaku kekerasan sepakbola secara terus-menerus pada akhirnya memunculkan kepatuhan. Hooliganisme masih ada memang, namun sudah bisa ditekan di titik terendah.
Entahlah. Di Tegucigalpa atau Glasgow, alasan dan penjelasan-penjelasan tak terlampau dibutuhkan untuk sebuah kebencian dalam sepakbola. Tapi kita tak boleh hilang harapan, karena seperti kata salah satu teman saya: pada akhirnya, perang apapun, termasuk perang sepakbola, menyadarkan kita bahwa kemanusiaan lebih penting daripada kebanggaan. ***