Jakarta (pilar.id) – Pengamat ekonomi IndoGo Network, Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya perlu kita lihat secara kritis dari tiga sudut pandang.
Pertama, kata Ajib, dari sisi petani kelapa sawit. Karena yang pertama terhantam secara langsung dengan kebijakan larangan ekspor CPO ini adalah para petani. Ketika polemik terjadi, harga tandan buah segar (TBS) anjlok bisa sampai 60 persen, bahkan ada beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) yang kemudian menurunkan harga Rp300 hingga Rp1.400 per kg.
Menurutnya, akan menjadi pilihan sulit bagi para petani kelapa sawit, karena kalau panennya tidak terserap oleh PKS, justru akan menjadi problem baru.
“Walaupun Kementerian Pertanian mengeluarkan surat edaran untuk melindungi harga di level petani, tetapi dalam kondisi kebijakan yang berubah-ubah ini, dunia usaha akan sulit membuat keseimbangan harga yang ideal,” kata Ajib, Jumat (29/4/2022).
Sudut pandang kedua, lanjutnya, adalah sektor dunia usaha. Saham-saham perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit mengalami depresiasi. Beberapa contoh data, saham PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) turun 4,27 persen menjadi Rp1.350 per lembar saham per kemarin.
Lalu PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) juga turun 1,2 persen. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) turun 3,5 persen. Saham PT Provident Agro Tbk (PALM) milik Saratoga Sentra Business juga turun 2,22 persen menjadi Rp880 per lembar saham. Kemudian PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) turun 3,14 persen menjadi Rp2.160 per lembar saham.
“Penurunan harga-harga saham di bursa ini karena sentimen negatif atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini, karena perusahaan emiten sawit mengalami penurunan kinerja,” kata dia.
Hal ketiga yang perlu menjadi perhatian adalah neraca keuangan negara. Pertumbuhan ekonomi dihasilkan dengan terdongkraknya produk domestik bruto (PDB). Salah satu penyumbang kenaikan PDB ini adalah dari sektor ekspor non-migas, terutama CPO.
Surplus perdagangan pada bulan Maret 2022 yang mencatat kisaran US$4,5 miliar, akan tergerus ketika kebijakan ini terus berjalan. Ketika ekspor mengalami tekanan, neraca keuangan negara akan mengalami potential loss lebih banyak.
Selanjutnya, bagaimana idealnya? Menurut Ajib, pemerintah seharusnya fokus dengan pembuatan kebijakan yang tetap melindungi pasar dalam negeri, tetapi tetap memberikan kepastian hukum dalam transaksi bisnis yang terjadi secara internasional.
Pemerintah bisa meningkatkan dan memperketat kebijakan domestic market obligation (DMO), misalnya. DMO bisa dinaikkan dari 20 persen menjadi 30 persen, disertai dengan pengawasan kebijakan dengan lebih ketat.
DMO adalah kewajiban badan usaha atau bentuk usaha tetap untuk menyerahkan sebagian produksinya kepada negara melalui badan pelaksana dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan besaran yang sudah diatur dalam kontrak kerja sama. Ketika pemerintah bisa konsisten dengan regulasi ini, semua pihak bisa terlindungi dengan baik.
“Harga minyak di pasaran bisa sesuai harapan pemerintah, di bawah Rp14.000 per kg minyak curah, tapi satu sisi petani sawit terlindungi, dunia usaha bisa menaikkan performa perusahaan, dan neraca keuangan negara terdongkrak positif,” tukasnya. (her/hdl)