Jakarta (pilar.id) – Tepat pada 17 Agustus 2023, Indonesia merayakan usia kemerdekaan yang ke-78 sekaligus menggenggam impian untuk mencapai status Indonesia Emas pada tahun 2045. Namun, di balik perayaan tersebut, ironi terjadi karena hutan dan lahan masih terus terjajah oleh wabah kebakaran di berbagai titik.
Meskipun Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada Rabu (16/8/2023) telah berulang kali menyebutkan target Indonesia Emas, tetapi kegentingan perlindungan dan restorasi hutan dan lahan terasa terpinggirkan, terutama mengingat situasi saat ini yang banyak daerahnya terkena kebakaran akibat fenomena El Nino.
Para ahli pun memperkirakan tahun ini akan menyaksikan angka kebakaran yang lebih parah dibandingkan dua tahun sebelumnya (2021-2022).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberikan peringatan tentang dampak ekstrim El Nino yang dapat mengurangi curah hujan dan memicu kemarau yang memungkinkan terjadinya kekeringan. Bahkan, tahun 2024 diperkirakan akan menjadi tahun terpanas di dunia.
Namun, yang memprihatinkan adalah bahwa fakta di lapangan yang telah dihimpun oleh Auriga Nusantara selama dua dekade terakhir (2001-2019) menunjukkan bahwa faktor kelalaian manusia memainkan peran besar dalam terjadinya karhutla.
Titik panas yang banyak terjadi berada di lahan gambut, khususnya di wilayah Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Fenomena ini semakin memperburuk situasi karena api sulit dikendalikan, dan terkadang menyebabkan bencana asap yang merugikan.
“Hasil analisis dari Auriga Nusantara atas titik panas atau hotspot selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa pola ulang hotspot tersebut sering terjadi di lokasi yang sama secara administratif,” ungkap Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara.
Titik panas yang ada, lanjut dia, cenderung meningkat pada bulan yang sama di kabupaten yang sama di tujuh provinsi; Riau (19 persen), Kalimantan Tengah (19 persen), Kalimantan Barat (13 persen), Sumatera Selatan (12 persen), Jambi (5 persen), Papua (5 persen), dan Kalimantan Selatan (4 persen).
Lebih menariknya, hotspot yang berulang ini tidak hanya terbatas pada kawasan monokultur, melainkan juga di wilayah konservasi. Ditegaskan, monokultur merujuk pada penanaman satu jenis tanaman di suatu area.
Lebih lanjut, Timer menyatakan bahwa tujuh provinsi tersebut juga merupakan daerah yang memiliki lahan gambut yang cukup luas. Pada tahun 2019, salah satu puncak kebakaran di Indonesia, titik panas tertinggi di lahan gambut tercatat di Sumatera, khususnya Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau. Ketiga provinsi ini bahkan mencatat rekor titik panas tertinggi dalam dua dekade terakhir di lahan gambut.
Penting untuk dicatat bahwa proyek strategis nasional seperti food estate juga berpotensi meningkatkan risiko karhutla. Pembukaan lahan gambut atau perubahan fungsi hutan menjadi lahan lain dapat memicu kebakaran.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, perlu adanya sinergi antara kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. “Kami mencatat bahwa luas Area Indikatif Terbakar telah meningkat beberapa kali lipat di izin hutan tanaman, perkebunan sawit, serta konsesi mineral dan migas dalam dua bulan terakhir,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Hal ini, kata Nadia, memerlukan perhatian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, dan kepala daerah. Namun, disayangkan bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak termasuk dalam lembaga yang dimandatkan oleh Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2020.
Pentingnya perlindungan dan pengurangan risiko karhutla diakui oleh banyak pihak. Gita Syahrani, Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) periode 2017-2023, menggarisbawahi perlunya mengintegrasikan agenda konservasi hutan dalam rencana perencanaan jangka panjang dan menengah.
Inisiatif ini perlu memperhitungkan ketangguhan dalam menghadapi bencana, terutama dalam kondisi iklim ekstrem seperti sekarang.
Tantangan besar juga terletak pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025-2045 yang akan segera digarap.
“Semua perencanaan nasional dan daerah Indonesia akan mencapai batas akhirnya pada tahun 2025, jadi penting untuk memastikan bahwa RPJP ini mencerminkan perlindungan ekosistem yang vital di setiap daerah, termasuk hutan dan lahan gambut, untuk meningkatkan ketangguhan bencana,” kata Gita.
Sementara dokumen perencanaan ini, katanya, juga harus mengarahkan proyek prioritas nasional dan daerah yang mendukung ekonomi dan usaha berkelanjutan serta memperhatikan kondisi ekologis.
Saat RPJP nasional dan daerah berhasil mengintegrasikan aspek ketangguhan bencana, maka seluruh perencanaan jangka menengah selama dua dekade ke depan dapat dilakukan dengan perspektif yang sama.
Pada tahun 2023, bersama Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Tim Kerja Advokasi dari Koalisi Ekonomi Membumi (KEM), kabupaten-kabupaten anggota LTKL serta beberapa kabupaten lainnya akan memulai penyusunan RPJP Daerah dengan bimbingan dari instansi terkait.
Proses ini diharapkan mampu mereplikasi inovasi yang telah dilakukan oleh beberapa wilayah kabupaten, seperti inisiatif Cagar Biosfer Lore Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang menjadi inspirasi dalam menjaga kekayaan alam dan mencegah karhutla. (hdl)