Tulungagung (pilar.id) – Acara sederhana dan spontan merupakan kejutan yang membuat Soesilo Toer, adik Pramoedya Ananta Toer berkaca-kaca. Sebuah tumpeng nasi kuning persembahan dari Tualang Buku, menandai 85 tahun usia Soes, di Tulungagung, Jawa Timur.
Pemotongan tumpeng ini mengawali bincang bertema Keluarga Penulis yang diadakan oleh Tualang Buku. Tualang Buku merupakan acara bincang buku yang digagas oleh Iwan Kurniawan sejak 5 tahun silam. Acaranya dari kedai ke kedai hingga akhirnya kini punya tempat di Kakofoni, sebuah kedai kopi yang ia kelola di Tulungagung Jawa Timur.
“Saya sudah lupa dengan ulang tahun saya, kok di sini ada yang ingat. Terima kasih. Jangan heran, kalau saya memang cengeng, seperti Pram,” kata Soes, Kamis (17/2/2022) lalu.
Mata yang berkaca-kaca, mata yang menangis, tidak selalu menunjukkan kelemahan. Jika Rusdi Mathari, penulis dan wartawan pernah mengatakan bahwa laki-laki tidak menangis namun hatinya berdarah, Soes mengalami keduanya. Ia (mudah) menangis, ia juga menyimpan hatinya yang berdarah karena terluka oleh ketidakadilan.
Luka itu yang mengajarinya untuk melawan dengan cara-cara kesufian Samin. Seorang tokoh besar dari Blora, Samin Soerosentiko yang melawan Belanda dengan cara ahimsa, tanpa kekerasan. Ada banyak cara perlawan Samin, yang kesemuanya tanpa kekerasan. Salah satunya dengan pura-pura menjadi bodoh yang sungguh memusingkan Belanda.
Soes, meski tak langsung menyebut bahwa perlawanan yang ia lakukan sebagaimana Samin melawan, namun pilihan hidupnya menunjukkan demikian. Keseharian Soes yang memilih menjadi pemulung meski ia mengantongi 4 ijazah sarjana hingga jadi Doktor dari Uni Soviet (kini Rusia).
“Saya memilih pekerjaan yang tidak memerlukan ijazah. Di sana saya menemukan kebebasan. Kebebasan itulah ciri menjadi manusia. Anda belum manusia kalau belum bebas,” katanya dengan nada tegas dan sepasang mata yang berkilat-kilat. Mata yang menyalakan hidup, tak pernah redup, 85 tahun lamannya.
Memilih Hidup, Memilih Kebebasan
Pilihan menjadi pemulung merupakan pilihan besar yang sudah banyak ditulis oleh media. Namun dalam kesehariannya, banyak tindakan perlawanan yang ia lakukan melalui hal kecil dan bisa jadi tampak konyol. Misalnya ketika ia rela menempuh ujian SIM berkali-kali hanya demi untuk mengritik bahwa ujian SIM harus diperbaiki.
“Nanti saya datang lagi ke kantor polisi. Saya bayar lagi sesuai tarif ujian lalu saya mengerjakan soal lagi. Dan tentu saja saya akan banyak salah, tidak lulu lagi,” katanya.
Untuk apa menyulitkan diri? Mungkin pertanyaan itu yang terlontar bagi sebagian besar orang yang targetnya adalah hasil. Namun bagi Soes, ada hal yang lebih penting dari hasil yaitu proses. Hasil menjadi tidak penting lagi.
Soesilo Toer adalah anak ke-7 dari pasangan Mastoer dan Siri Saidah yang lahir pada 17 Februari 1937 di Blora, dan kini kembali ke Blora. Ia mengantongi ijazah master dari Universitas Patrice Lumumba dan doktor di Institut Plekhanov, keduanya di Moskow, Uni Soviet (Rusia). Pernah menjadi tahanan zaman Orba tanpa pembuktian atas kesalahannya.
“Saat itu saya ditahan sebenarnya bukan karena politik tapi karena masalah paspor yang telat,” katanya. Melihat latar belakang pergerakan Soes dan nama Toer yang identik dengan Pram, telat paspor tentu menjadi masalah yang tak lagi ringan.
Tak berhenti sampai di sana. Ia pernah hidup serabutan di Jakarta dan Bekasi hingga warungnya digusur pada tahun 200. Sejak itu ia memilih kembali ke Blora.
“Kalau ditanya, kenapa saya balik ke Blora? Akar saya di sana. Bukan di luar negeri,” katanya mantap. Pun sama tegasnya ketika ditanya alasan menjadi pemulung. “Pekerjaan yang tak perlu memerlukan ijazah ketika ijazah saya semua ditolak,” jelasnya dengan nada tegas.
Bila pemulung adalah pekerjaan yang tak memerlukan ijazah dan pemikiran, namun Soes tak berhenti berpikir. Belasan buku ditulisnya dan akan terus menulis. Buku tentang Pram dari sisi-sisi terdalam sebab Soes melihatnya dari dalam, novel, hingga buah pikirnya sebagai doktor pun tertuang dalam Republik Jalan Ketiga. Buku ini ditulis ulang dari disertasi berisi kritik tentang marxisme-leninisme sekaligus kapitalisme dengan mengajukan alternatif ketiga yaitu kearifan lokal.
Kritik ini sempat dituduh menyontek buku The Third Way (jalan Ketiga) Antony Giddens. Namun dilihat dari tahun saja, tuduhan itu sudah gugur. Disertasi Soes ditulis pada tahun 1967 sedangkan buku Giddens ditulis pada tahun 1990-an dan diterjemahkan pada tahun 2000-an.
Selain itu, melihat isinya sangat berbeda. Buku Giddens memaparkan kondisi masing-masing sistem dan melihatnya dari sudut pandang sospol. Sementara Soes menggunakan sudut pandang ekonomi dan menawarkan alternatif jalan ketiga yaitu kearifan lokal.
“Kapitalisme dan komunisme itu sebenarnya sama, sama-sama eksploitatif. Kapitalisme mengeksploitasi orang lain, kalau komunisme mengeksplotasi diri sendiri,” katanya sambil bertawa.
Menurutnya, semua paham itu harus dipelajari meski tak selalu harus diterapkan. Mempelajari membuat kita memahami. Hal itulah yang menjadi semangat Pataba, perpustakaan sekaligus penerbit untuk menerbitkan kembali pemikiran Soes tersebut beserta pemikiran-pemikiran lainnya. Disertasinya terbit dalam buku berjudul Republik Jalan Ketiga, Pataba Press (2020). Pun pemikirannya tentang Samin terbit sebagai novel dengan judul Dunia Samin, Pataba Press (2021). Sama seperti semangat Pram, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Selamat ulang tahun, Pak Soes! Karyamu abadi bagi anak negeri (tik/hdl)