Jakarta (pilar.id) – Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia dalam bidang siber untuk mengatasi tantangan yang semakin intensif. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengutip survei BDO terhadap talenta teknologi informatika di Indonesia, bahwa 9 dari 10 lulusan teknologi memilih untuk menjadi pengembang perangkat lunak dan hanya satu dari 10 yang berminat mendalami keamanan siber.
Kementerian Kominfo membuka kesempatan bagi berbagai pihak untuk terlibat dalam mencetak talenta digital Indonesia yang berkualitas, khususnya dalam bidang keamanan siber.
“Indonesia sangat perlu dan sudah pada tahap urgen memiliki tenaga profesional di bidang keamanan siber,”
jelas Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Mira Tayyiba, dalam keterangan pers diterima di Jakarta pada Rabu (26/10/2022).
Dari total 4.000 universitas di Indonesia, baru sekitar 10 yang memiliki jurusan keamanan siber.
Kekurangan sumber daya manusia keamanan siber juga membuat banyak perusahaan mencari dan mengambil dari negara tetangga atau negara lain.
“Padahal, bila dilakukan intensifikasi kecakapan digital melalui kolaborasi antarpemangku kepentingan, Indonesia dapat meraup potensi digital sebesar Rp4.500 triliun atau sebesar 17 persen produk domestik bruto Indonesia di tahun 2030,” jelas Mira.
Di tengah meningkatnya pengguna ruang digital, ancaman atas keamanan siber juga semakin meningkat. Pada 2021, berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara, terjadi lebih dari 700 juta serangan siber di Indonesia.
“Serangan tersebut didominasi oleh anomali traffik dengan kategori anomali terbanyak adalah malware. Selain itu, Indonesia juga berada di urutan pertama dengan serangan ransomware,” urai Mira.
Kementerian Komunikasi dan Informatika berkomitmen untuk terus menjalankan program pengembangan kecakapan digital secara komprehensif mulai dari tingkat dasar, menengah hingga lanjutan.
Untuk menyukseskan semua program mencetak talenta digital, Kementerian Kominfo melibatkan banyak pihak termasuk industri, akademisi dan lembaga nonpemerintah. (din/antara)