Jakarta (pilar.id) – Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2015-2019 Sri Adiningsih mengajak masyarakat Indonesia untuk menerapkan pola hidup go green atau ramah lingkungan. Meski trade off hidup go green nampak mahal saat ini, namun sebenarnya murah bila dibandingan dengan kerusakan bumi.
“Saat ini kalau beli sesuatu yang organic atau yang green, biaya energi itu masih lebih mahal dibandingkan dengan bahan bakar minyak (BBM) biasa ya,” papar Adiningsih, di Jakarta, Minggu (19/6/2022).
Pola hidup ramah lingkungan dapat dimulai dari hal sederhana. Ia mencontohkan beberapa tindakan sederhana yang dapat mendukung perilaku hidup go green, di antaranya menggunakan kertas daur ulang memastikan listrik bila tidak diperlukan, dan hemat air.
“Coba waktu menyikat gigi, matikan airnya. Kalau itu dilakukan air yang dihemat bisa banyak sekali, thats simple dan kita bisa melakukan,” tegas ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) ini.
Ia juga mendorong energi baru terbarukan (EBT) atau energi bersih segera diimplementasikan meskipun secara bertahap. Apalagi, tren harga minyak ke depan akan terus naik.
“Sehingga ini lebih menguntungkan upaya untuk green,” urainya.
Sementara itu, Guru Besar Teknik Mesin UGM, Deendarlianto terdapat satu kesalahan dalam tata kelola energi nasional. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 menyebutkan, energi merupakan modal dasar pembangunan.
Namun fakta yang terjadi sekarang, energi dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Seharusnya energi diolah untuk menumbuhkan industri baru.
“Sehingga pertumbuhan ekonomi didapatkan dari industrialisasi dari sumber energi yang kita miliki,” jelas Deen.
Pada tahun 2021, bauran EBT baru mencapai 11,7 persen. Padahal pemerintah menargetkan, bauran EBT pada 2025 sebesar 23 persen. Sementara pada 2050, kontribusi EBT sudah harus mencapai 31 persen.
“Ini tantangan besar bagi kita untuk bagaimana cara mewujudkannya,” kata dia.
Menurut Deen, saat ini pengembangan EBT menjadi trendsetter dunia. Kalau Indonesia tidak masuk dalam trendsetter, maka produk-produk yang dihasilkan dari energi fosil susah bersaing di pasar global.
“Dan tidak mendapat tempat di market internasional,” tutupnya. (din/Antara)