Surabaya (pilar.id) – Robbyan Abel Ramdhon, alumni Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (UNAIR), mencetak prestasi membanggakan di panggung sastra internasional. Ia terpilih sebagai salah satu dari 10 Emerging Writers dalam ajang Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025, sebuah festival sastra paling bergengsi di Asia Tenggara.
“Jujur saya merasa beruntung, tapi juga cemas. Karena pencapaian ini menuntut komitmen lebih dalam dunia kepenulisan yang sudah lama saya jalani,” ujar Robbyan.
Dikenal dengan panggilan Robby, ia telah menekuni dunia tulis-menulis sejak tahun 2013 saat masih duduk di bangku SMA. Baginya, menulis bukan sekadar hobi musiman, tetapi komitmen jangka panjang yang menuntut disiplin.
“Saya tidak mempersiapkan naskah khusus saat mendaftar ke UWRF. Menulis sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari,” jelasnya.
Karya-karyanya banyak menyoroti isu sosial dan budaya dengan gaya penulisan yang reflektif. Beberapa karya Robby bahkan telah meraih penghargaan nasional, di antaranya cerpen Masjid di Bawah Laut (2018), Alim Berbicara, Tapi Tatapannya Kosong (2022), serta esai kritik film tentang Wiji Thukul yang dipublikasikan Dewan Kesenian Jakarta (2023).
Suara dari Daerah untuk Dunia
Sebagai bagian dari Komunitas Akarpohon di Mataram, Robby berharap pencapaiannya bisa menjadi jalan bagi penulis muda lainnya, khususnya dari daerah. “Saya ingin dunia sastra Indonesia memiliki lebih banyak suara baru dari akar rumput,” katanya.
UWRF 2025 menjadi ruang bertukar gagasan antara penulis dari berbagai penjuru dunia. Tahun ini, hanya 10 penulis muda yang terpilih dari 647 pendaftar, dan Robby berhasil mengukuhkan dirinya di antara nama-nama itu.
“Saya ingin festival ini jadi ruang belajar, bertukar, dan berbagi. Harapannya, karya saya bisa lebih dikenal secara luas,” ujarnya.
Menutup perbincangan, Robby menyampaikan pesan yang mendalam bagi mahasiswa UNAIR dan penulis muda lainnya. “Menulis itu bukan sekadar kegiatan, tapi tanggung jawab. Bukan hanya pada kata, tapi juga pada kehidupan yang kita jalani. Lewat tulisan, pengalaman bisa menjadi lebih bermakna.” (ret/hdl)