Jakarta (pilar.id) – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, pemerintah memperkirakan puncak emisi pada 2035. Sementara, negara lain seperti China akan mencapai puncak emisi pada 2030, dan Eropa rata-rata tahun ’70-an.
“Negara pengotor, negara maju yang mengotori dunia ini lebih dulu, Amerika sekitar tahun ’80-an sudah peak emission,” kata Satya, di Jakarta, Rabu (15/6/2022).
Perhitungan puncak emisi tersebut berdasarkan pada asumsi Indonesia keluar dari middle income trap pada 2045. Jika berhasil keluar dari jebakan negara-negara berpenghasilan menengah, Indonesia akan menjadi negara maju.
“PR-nya masih banyak,” kata Satya.
Untuk menjadi negara maju, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dituntut lebih dari 6 persen. Namun, gross domestic product (GDP) per kapita Indonesia harus di atas 22 ribu Dollar AS. Sedangkan, saat ini GDP Indonesia baru sekira 2.500 hingga 4.000 Dollar AS.
“Which is itu sangat besar,” kata dia.
Untuk menuju menjadi negara maju, dibutuhkan investasi yang besar. Menurut Satya, sedikitnya dibutuhkan dana Rp3.500 triliun untuk melakukan transisi energi.
“Duitnya dari mana, nanti kita lihat karena perlu bantuan asing. Kolaborasi internasional,” kata dia.
Selain itu dibutuhkan tranfer teknologi dan inovasi agar energi baru terbarukan (EBT) menjadi lebih kompetitif dibanding energi fosil saat ini. “Jangan sampai ini mahal terus, sehingga tidak bisa berkompetisi dengan energi fosil. Maka akan membuat dilema dalam bertransisi,” kata dia. (ach/hdl)