Surabaya (pilar.id) – Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) menjadi parameter utama dalam mengukur kinerja akademis mahasiswa di perguruan tinggi. Namun, kompleksitas hubungan antara IPK dan motivasi belajar seringkali menjadi perbincangan di kalangan akademisi.
Menurut pandangan Pakar Psikologi dari Universitas Airlangga, Nido Dipo Wardana SPsi MSc, terdapat hubungan saling mempengaruhi antara IPK dan motivasi mahasiswa.
Menurut Nido, motivasi dan IPK memiliki keterkaitan yang kompleks. Meskipun ada mahasiswa yang mungkin mendapat dorongan setelah menyadari turunnya IPK, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa motivasi sebenarnya menjadi prediktor dari IPK. Mahasiswa yang memiliki motivasi tinggi cenderung mencapai IPK yang baik.
Namun, Nido menyatakan bahwa hubungan ini belum sepenuhnya jelas. Faktor seperti tingkat stres juga dapat memengaruhi baik motivasi maupun performa akademik mahasiswa.
“Hubungan keduanya masih belum sepenuhnya terpecahkan. Motivasi dan IPK mungkin dipengaruhi oleh faktor ketiga, seperti tingkat stres yang tinggi dapat memengaruhi motivasi dan performa akademik mahasiswa,” ungkap Nido.
Pakar Psikologi UNAIR tersebut menyatakan bahwa pandangan mahasiswa terhadap IPK berbeda-beda. Bagi sebagian, IPK menjadi motivasi untuk meningkatkan performa akademik di masa depan, sementara yang lain melihat IPK sebagai penilaian terhadap kemampuan akademik, yang bisa menjadi self-fulfilling prophecy. Namun, tidak semua mahasiswa terlalu memperhatikan IPK dalam motivasi belajar mereka.
“Terlalu terobsesi dengan IPK tinggi dapat membuat seseorang sangat sensitif terhadap kegagalan kecil dalam hal akademik. Takut gagal dapat membuat beberapa individu tidak berani berusaha mencapai prestasi akademik,” tambahnya.
Nido juga menyoroti pentingnya pemahaman tentang relevansi dan urgensi pembelajaran. Banyak mahasiswa kehilangan motivasi karena kurangnya pemahaman mengenai relevansi materi kuliah dengan kehidupan sehari-hari atau karier masa depan mereka.
Menurut Nido, evaluasi formatif yang diberikan di tengah proses belajar lebih bermanfaat dalam meningkatkan motivasi daripada evaluasi sumatif seperti IPK.
“Evaluasi formatif, seperti kuis selama perkuliahan, nilai UTS, dan feedback terhadap tugas mata kuliah, lebih bermanfaat dalam meningkatkan motivasi daripada evaluasi sumatif seperti IPK,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa mahasiswa yang tidak terdorong untuk serius belajar karena kurangnya pemahaman mengapa mereka perlu mempelajari materi kuliah.
“Jika lembaga pendidikan dapat menjelaskan relevansi pembelajaran dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari atau karier di masa depan, mahasiswa mungkin akan lebih termotivasi,” pungkas Nido. (ipl/hdl)