Jakarta (pilar.id) – Kampanye untuk memisahkan sepakbola dengan politik memang terus digemborkan oleh banyak pihak termasuk oleh berbagai federasi sepakbola, tak terkecuali oleh FIFA.
Namun, sepakbola dan politik memang dua hal yang sulit untuk bisa dipisahkan. Apalagi, ketika sepakbola telah menjadi olahraga paling populer di dunia dan mampu menyedot perhatian banyak orang.
Power itu lah yang dimanfaatkan oleh para pemain Iran saat mereka berlaga di Piala Dunia Qatar 2022. Para pemain Timnas Iran, menolak untuk menyanyikan lagu kebangsaan mereka sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan masyarakat di negaranya yang sedang melakukan unjuk rasa anti-pemerintah.
Sebelumnya, pernyataan tersebut telah disampaikan oleh kapten Timnas Iran, Alireza Jahanbakhsh. Dalam konferensi pers, Jahanbakhsh menyatakan bahwa ia bersama para pemain akan memutuskan apakah akan menolak atau tetap menyanyikan lagu kebangsaan Iran.
Hasilnya, saat musik lagu kebangsaan Iran dibunyikan jelang kick off pertandingan melawan Inggris, para pemain hanya berdiri diam dengan raut muka muram. Aksi ini, menjadi bentuk nyata solidaritas mereka kepada perjuangan masyarakat Iran yang sedang berjuang melakukan demonstrasi terhadap rezim di Iran.
Iran telah diguncang oleh protes nasional selama dua bulan sejak tewasnya wanita berusia 22 tahun, Mahsa Amini dalam tahanan polisi moral pada 16 September lalu.
Amini, seorang wanita Iran asal Kurdi, meninggal tiga hari setelah penangkapannya di Teheran atas dugaan pelanggaran peraturan berpakaian Republik Islam untuk wanita, termasuk kewajiban berjilbab.
Beberapa atlet Iran lainnya memilih untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaan atau merayakan kemenangan mereka untuk mendukung para pengunjuk rasa.
Jahanbakhsh, yang pernah bermain untuk klub Inggris Brighton, marah pekan lalu dengan pertanyaan dari seorang jurnalis Inggris tentang isu lagu kebangsaan.
“Setiap pemain memiliki perayaan yang berbeda dan Anda bertanya tentang lagu kebangsaan dan itu adalah sesuatu yang juga harus diputuskan dalam tim, yang sudah kita bicarakan,” katanya.
“Tapi kami tidak pernah mempermasalahkannya, sejujurnya, karena semua orang hanya memikirkan sepak bola.”
Tindakan keras sejak kematian Amini telah menewaskan hampir 400 orang, menurut kelompok LSM Hak Asasi Manusia Iran yang berbasis di Oslo.
Situasi ini telah menimbulkan pertanyaan apakah tim tersebut mewakili Iran atau rezim yang telah memerintah dengan tangan besi sejak Revolusi Islam 1979. (fat)