Surabaya (pilar.id) – Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Silmy Karim, baru-baru ini mengungkapkan bahwa fenomena Warga Negara Indonesia (WNI) yang pindah kewarganegaraan ke Singapura semakin marak.
Menurutnya, setiap tahun banyak mahasiswa Indonesia di Singapura yang mengubah kewarganegaraannya. Fenomena ini tentu saja menuai pro dan kontra di masyarakat.
Dr. Tuti Budirahayu Dra Msi, seorang sosiolog dari Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangannya terkait fenomena ini. Menurutnya, fenomena pindah kewarganegaraan merupakan bagian dari migrasi yang wajar terjadi.
“Ini seperti fenomena migrasi. Dalam migrasi, ada faktor penarik dan faktor pendorong,” ujarnya. Tuti menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi karena adanya faktor penarik dan pendorong. Adanya peluang kerja, karier, dan kehidupan yang lebih baik menjadi faktor pendorong bagi para WNI untuk pindah ke Singapura.
“Faktor pendorongnya adalah kesempatan bekerja, berkarier, dan hidup lebih baik dibandingkan di daerah asal,” jelasnya.
Tuti juga menyebut bahwa keadaan Singapura yang lebih maju dan teratur di berbagai sektor, terutama ekonomi, menjadi faktor penarik bagi para WNI.
“Singapura adalah negara yang lebih maju, teratur, terkenal dengan disiplin yang tinggi, dan penghasilan yang lebih tinggi,” tambahnya.
Fenomena pindah kewarganegaraan ini tentu memiliki dampak bagi Indonesia. Menurut Tuti, jika diaspora Indonesia menetap di negara-negara yang lebih maju dan memberikan kontribusi, hal tersebut dapat meningkatkan citra Indonesia di mata dunia.
“Jika banyak orang Indonesia beremigrasi ke negara-negara maju, secara tidak langsung itu dapat meningkatkan citra Indonesia. Selain itu, diaspora tersebut dapat menerapkan pengetahuan dan keahliannya di Indonesia ketika kembali,” jelasnya.
Namun, Tuti juga mengakui adanya kemungkinan dampak negatif yang muncul. “Di sisi negatifnya, banyak orang yang beremigrasi tanpa memberikan dampak positif. Artinya, mereka tidak mendorong kemajuan daerah asal mereka. Berbagai sektor akhirnya terabaikan karena kurangnya sumber daya manusia,” tambahnya.
Bagaimana seharusnya pemerintah bertindak? Menurut Tuti, pemerintah sebaiknya tidak menghalangi fenomena ini. Fenomena pindah kewarganegaraan oleh WNI ini merupakan hak asasi manusia.
“Ini adalah hak asasi manusia. Tergantung apakah permohonan perpindahan kewarganegaraan disetujui oleh pihak Singapura atau tidak. Jika disetujui, maka seharusnya tidak ada masalah,” ungkapnya.
Tuti melihat bahwa kemunculan fenomena ini sebenarnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan. Fenomena pindah kewarganegaraan ini mengindikasikan adanya masalah struktural di Indonesia.
“Jika fenomena ini terjadi secara masif, berarti ada sesuatu yang salah di Indonesia. Mungkin mereka beremigrasi karena merasa tidak nyaman tinggal di sini. Inilah momen bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan,” tegasnya. (usm/hdl)