Jakarta (pilar.id) – Jakarta masih mencekam. Beberapa tokoh politik di daerah, terlebih di kawasan dengan akses informasi yang minim, terus menunggu apa yang akan terjadi.
Spekulasi pun bermunculan. Tentang Sukarno yang tak lagi punya taji. Tentang AH Nasution. Tentang intelijen Amerika Serikat. Dan puncaknya, 26 Maret 1968, Suharto resmi dilantik menjadi Presiden RI menggantikan Sukarno.
Pergantian kepemimpinan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui serangkaian peristiwa yang mendasarinya. Salah satunya Gerakan 30 September 1965 (G30S), yang diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk merebut kekuasaan dari Sukarno.
Peristiwa ini menimbulkan keresahan dan ketakutan di kalangan rakyat dan militer, serta memicu pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Suharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), berhasil mengendalikan situasi dan menumpas G30S. Ia kemudian mendapat dukungan dari sebagian besar angkatan bersenjata dan partai politik untuk menggantikan Sukarno.
Seriring waktu, sejarah dan pemahaman terhadap peristiwa ini pun muncul dengan berbagai versi dan revisi. Dan seperti kasus kemanusiaan lain di tanah air, sejarah-sejarah alternatif itu pun terhenti.
Peristiwa lain yang mendasari pergantian kepemimpinan ini adalah pemberian Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Sukarno kepada Suharto pada 11 Maret 1966. Supersemar memberi kewenangan kepada Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi dan kondisi Indonesia yang tidak stabil akibat G30S dan krisis ekonomi.
Dengan Supersemar, Suharto mulai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno secara bertahap, seperti membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), membentuk kabinet baru, dan menekan kelompok-kelompok pro-Sukarno .
Peristiwa lain yang mendasari pergantian kepemimpinan ini adalah penolakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terhadap pidato pertanggungjawaban Sukarno yang dikenal dengan Nawaksara pada 21 Juni 1966.
Dalam pidato tersebut, Sukarno membela diri dari tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya terkait keterlibatannya dalam G30S dan kegagalannya dalam memimpin bangsa. Namun, MPRS menilai pidato tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan sebelumnya dan mencabut gelar presiden seumur hidup dari Sukarno.
MPRS juga memberhentikan Sukarno sebagai Presiden pada 22 Juni 1966 dan menunjuk Suharto sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum .
Di luar kondisi politik yang memanas, peristiwa lain yang mendasari pergantian kepemimpinan adalah kondisi ekonomi dan politik yang memburuk. Indonesia mengalami inflasi, kelangkaan bahan pokok, utang luar negeri, dan konflik dengan Malaysia dan Amerika Serikat.
Sukarno juga menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, yang menghapuskan peran parlemen dan partai politik dalam pengambilan keputusan. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat dan elite politik, yang merasa tidak diwakili oleh Sukarno.
Lalu muncul pernyataan, mengapa Suharto? Konon, saat itu, Suharto dinilai memiliki posisi strategis sebagai Panglima Angkatan Darat yang menguasai pasukan terbesar dan terkuat di Indonesia saat itu.
Selain itu, Suharto juga dinilai berhasil menumpas G30S dan mendapat dukungan dari sebagian besar jenderal lainnya yang menganggap Sukarno telah gagal dalam mempertahankan Pancasila dan NKRI .
Alasan lain mengapa Suharto dipilih adalah karena ia dianggap mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi Indonesia saat itu, seperti krisis ekonomi, konfrontasi dengan Malaysia, pemberontakan di berbagai daerah, dan tekanan internasional.
Suharto juga dianggap lebih moderat dan pragmatis daripada jenderal-jenderal senior lainnya yang cenderung radikal dan idealis.
Kekuatannya sebagai pemimpin militer dalam menangani G30S dan berbagai pemberontakan regional, membuat dia memiliki citra positif dan meraih dukungan dari partai politik non-komunis, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Katolik.
Pergantian kepemimpinan hari ini 55 tahun silam ini tentu saja mendapat perlawanan dari sejumlah kelompok, khususnya kelompok-kelompok yang setia kepada Sukarno. Namun, perlawanan mereka kandas, karena tidak memiliki dukungan riil dari kekuatan militer dan masyarakat luas. (hdl)