Jakarta (pilar.id) – Komisi X DPR RI mengecam kebijakan pemecatan lebih dari seratus guru honorer di DKI Jakarta melalui sistem cleansing atau pembersihan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, menyebut kebijakan ini tidak manusiawi.
“Cleansing itu kata yang terlalu sadis, pembersihan atau seperti membasmi. Itu tidak boleh!” tegas Dede Yusuf dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/7/2024).
Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta menjelaskan bahwa kebijakan ‘cleansing’ terhadap 107 guru honorer dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Temuan BPK menyebut bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan Permendikbud dan ketentuan sebagai penerima honor.
Dede Yusuf menekankan bahwa meskipun berstatus honorer, para guru ini telah mengabdi selama bertahun-tahun untuk pendidikan anak. Para guru honorer ini digaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Disdik DKI berdalih bahwa pihak sekolah mengangkat guru honorer tanpa rekomendasi dari Disdik, sehingga melanggar aturan.
“Kemendikbudristek harus segera mengklarifikasi dengan Dinas Pendidikan Jakarta. Dari informasi yang saya terima, ini adalah tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK,” kata politisi Fraksi Partai Demokrat ini.
Dede juga menyoroti perbedaan aturan dari Disdik Jakarta yang mengharuskan guru mengajar 35 jam per minggu, sementara Kemendikbudristek hanya mengharuskan 24 jam per minggu. Hal ini menjadi temuan BPK. “BPK melihat pembayaran guru-guru yang mengajar kurang dari 35 jam per minggu. Temuan ini bisa diselesaikan dengan mengatur pola jam mengajar,” jelas Dede.
Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu meminta agar pihak terkait segera mencari solusi bagi nasib guru honorer yang dipecat, termasuk Pemda dan BPK. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ‘cleansing’ bisa menyebabkan kekurangan guru dan mengganggu proses belajar mengajar.
“Kebijakan cleansing guru honorer bisa menyebabkan kekurangan guru di sekolah dan mengganggu proses belajar mengajar. Pada akhirnya anak-anak yang akan dirugikan,” tutur Dede.
Dede juga mengingatkan bahwa pemberdayaan profesi guru harus dilakukan dengan adil dan berkelanjutan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sesuai amanat Pasal 7 Ayat 2 UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
“Pemecatan guru honorer dengan istilah ‘cleansing’ tidak sesuai dengan semangat perbaikan nasib guru honorer. UU No 20 Tahun 2023 tentang ASN telah menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan penataan tenaga non-ASN paling lambat Desember 2024,” tambahnya.
Pemerintah telah berkomitmen menyelesaikan masalah tenaga honorer dengan kebijakan pengangkatan menjadi PNS atau PPPK, termasuk target pengangkatan 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK pada tahun 2024. “Nasib lebih dari 100 guru yang berjasa terhadap pendidikan anak-anak kita harus diperhatikan dengan bijaksana,” tutup Dede. (usm/hdl)