Yogyakarta (pilar.id) – Shibori, kain bergradasi warna-warni yang memiliki beragam motif detail dan cantik ini dapat menjadi alternatif fashion mode yang menarik. Shibori merupakan teknik pewarnaan kain dari Jepang untuk menentukan motif dengan cara melipat, mengikat, menjuput, menjelujur, dan mencelup.
Teknik yang mudah dan sederhana ini, membuat puluhan peserta dari berbagai daerah di Indonesia antusias mengikuti workshop Shibori Itajime Sekai di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (15/11/2022). Para peserta belajar membuat karya shibori mulai dari proses melipat kain, menentukan motif, hingga pewarnaan.
Pelatih sekaligus Perajin Kain Shibori, Tutty Ferianingsih mengatakan pada pelatihan kali ini, para peserta menggunakan teknik shibori Itajime, yakni penekanan motif dengan cara melipat kain secara berulang-ulang hingga membentuk tumpukkan berbentuk persegi ataupun segitiga.
“Jadi di Shibori ini banyak motifnya, untuk kali ini kita pakai teknik Itajime. Hal yang pertama yang harus dilakukan, kain kita lipat secara berulang sampai berbentuk tumpukan segitiga, lalu kita pakai karet untuk menjepit dan mengikat kain yang kuat,” jelas Tutty.
Karet tersebut, lanjut Tutty diikat secara melintang pada masing-masing sisi tumpukan kain. Proses ini untuk menentukan motif yang akan dihasilkan. Selanjutnya, proses pewarnaan dengan menyiapkan warna dan water glass atau Sodium Silikat yang berfungsi memperkuat dan mengunci warna kain shibori.
“Setelah kita lipat, kita larutkan warna mau kita pakai dengan takaran yang disesuaikan. Disini, kita pakai zat warna remazol ke baskom, diaduk rata dan celupkan kain yang terikat karet tadi ke larutan pewarna dengan hati-hati,” terangnya.
Tutty menyebut, pencelupan kain dilakukan hingga meresap berkisar 15 detik hingga satu menit berdasarkan motif yang akan dibuat dan tinggi kain. Kemudian, kain tiriskan dan didiamkan beberapa menit, lalu lepaskan karet yang terikat dengan gunting.
“Sebenarnya, proses shibori ini sangat cepat. Kalau kita sudah terbiasa, mulai dari melipat, pencucian, penjemuran sampai dijual kurang lebih tujuh sampi delapan jam. Lama di proses pencucian, karena baru kita lakukan enam jam setelah penjemuran, supaya warna matang kuat,” katanya.
Selain itu, Tutty yang telah berkecimpung memproduksi shibori sejak 2017 ini, menyebut harga kain yang dijual berkisar Rp 135 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung kerumitan motif yang dipakai. Tutty mengaku, kendala yang kerap dihadapi yakni adanya shibori printing, sebab kain printing jauh lebih murah daripada handmade.
“Paling tidak kita bisa mengedukasi masyarakat untuk mencintai produk dari handmade lokal, terutama menghargai karya buatan anak bangsa. Hasilnya memang hasil sama, kadang lebih bagus yang printing karena dari mesin, tapi di handmade itu satu karya dengan karya yang lain itu pasti berbeda,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu peserta workshop Shibori asal Pekanbaru, Adi Dirgantara mengaku senang mengikuti pelatihan shobori kali ini, sebab selain belajar proses pembuatan kain shibori juga menemukan teman-teman baru dari berbagai daerah.
“Seneng banget, selain dapat ilmu baru juga bisa bertemu sama teman-teman, yang jelas seru senang saya,” tutupnya. (riz/hdl)