Ingat saat sistem zonasi dipaksa membumi dalam seleksi penerimaan siswa atau peserta didik baru? Niatnya mulia, agar segala sesuatu bisa lebih transparan dan adil. Siswa menempuh pendidikan sesuai tempat tinggal, tak kehabisan energi di jalan menuju sekolah atau rumah.
Gagasan sistem zonasi memberi ruang keadilan, bahwa setiap siswa akhirnya berpeluang untuk masuk di sekolah terdekat, yang bisa jadi merupakan sekolah favorit. Ah, sejak dulu saya tidak terlalu suka ide ‘sekolah favorit’. Istilah yang, maaf, sangat congkak dan kapitalistik.
Orang tua murid mulai riuh mempersoalkan. Gara-gara alasan sederhana, bahwa tidak semua wilayah memiliki sekolah. Di luar itu, ada keluarga pendatang yang belum memiliki KTP di daerah dia tinggal. Seorang kawan mengingatkan di laman facebooknya, “Kalo sistemnya seperti ini yang beda provinsi ga bisa ikutan daftar skul di Surabaya. Kalo pun bisa harus ada surat pindah tugas ortu, lhaa kalo anaknya pingin skul nang Surabaya gimana, padahal tahun 2017 masih ada kuota 1 persen khusus untuk peserta didik yang dari luar provinsi”.
Di sisi lain, ada yang mengingatkan keberadaan sekolah negeri yang harusnya ada di setiap radius tertentu. Sampai muncul kalimat, “Intinya, kalau maksa pindah tidur, sediakan dulu kasurnya”.
Lalu di 2022, hal serupa muncul lagi. Kali ini beda tema, ‘Kementerian Kominfo dan Penyelenggara Sistem Elektronik atau PSE’. Narasi yang muncul, Kementerian Kominfo telah mengirimkan surat pada para Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang mengoperasikan Sistem Elektronik (SE) Terpopuler pada tanggal 22 Juli 2022 dan memberitahukan kembali kewajiban PSE untuk segera melakukan pendaftaran SE yang dioperasikan dalam waktu 5 hari kerja terhitung sejak 25 Juli 2022.
Lalu tiba saatnya, beberapa website diblokir. Game online seperti Epic Game, Steam, Dota 2, UPlay, Origin (EA), dan Counter Strike tak lagi bisa diakses. Paypal, meski kini kembali bisa diakses, bernasib sama.
Di sejumlah grup diskusi, pemblokiran Paypal jadi isu yang super riuh. Maklum, bagi pelaku industri kreatif, IT, bahkan UMKM yang bermain di ranah e-commerce, Paypal adalah solusi bertahun-tahun yang terbukti membantu. Karena di luar Paypal, mereka harus menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi. Sementara Paypal, sejak beberapa tahun lalu, sudah bisa diaktivasi dengan kartu debet atau rekening bank lokal.
Lewat Paypal, mereka bisa mendulang rezeki dari marketplace dunia. Di sisi lain, lewat Paypal, mereka bisa leluasa belanja software, produk fashion, hosting, cloud storage, domain, dan masih banyak lagi. Lalu Paypal diblokir. Mereka sontak berteriak, bahkan terang-terangan mendengungkan tagar ‘blokir kominfo’.
Ada yang bilang, kebijakan PSE akan menghidupkan industri digital tanah air. Masalahnya, seperti catatan di awal, ibarat disuruh pindah tempat, kasur yang baru belum ada.
Google dan Yahoo Search, juga Bing dan Yandex, adalah penyubur traffic semua pengelola website. Jadi meskipun website kita sudah terdaftar sebagai PSE resmi, jika search engine ini, suatu saat nanti benar-benar diblokir, maka selesai sudah. Website hanya dapat visitor dari luar negeri. Pengelola website akan hidup dari direct traffic dan social. Sampai di sini, jika platform social nanti ikut-ikutan diblokir, maka peluang dapat traffic hanya di kanal direct.
Itu baru website. Sekarang bicara platform pembayaran digital. Paypal, mohon maaf, saat ini belum tergantikan. Platform internasional tak semua melayani transfer antar bank. Tawarannya jelas, kalau bukan paypal ya kartu kredit. Jadi harus punya kartu kredit?
Akhirnya kita seperti tenggelam dalam obrolan klasik tentang kebijakan pemerintah yang seringnya tak membuat hidup lebih mudah. Selain kebijakan untuk tunduk, lupa jika kita bangsa merdeka, lalu perlahan melemah dan jatuh. Selebihnya, kita akan bicara wacana transformasi digital yang dangkal. Atau gagasan e-commerce yang hanya bikin lemes. ***