Jakarata (pilar.id) – Provinsi Jambi, disebut telah menjadi daerah dengan konflik agraria tertinggi kedua di Indonesia. Pasalnya, di daerah tersebut hingga saat ini telah terjadi sebanyak 156 kasus konflik agraria.
Data tersebut berasal dari catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi. Pihaknya juga menyebut bahwa para petani menjadi kelompok yang paling banyak dirugikan dari konflik agraria tersebut karena lahannya dikuasai korporasi (perusahaan).
Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Abdullah di Jambi, Sabtu (24/8/2022) mengatakan, tingginya kasus agraria tersebut salah satunya akibat keterlibatan aktor utama, yakni perusahaan ekstraktif seperti sawit, tambang dan HTI, pemerintah dan masyarakat korban dengan rincian lahan atas tambang mencapai 95 konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik dan monokultur 28 konflik.
“Para kaum tani harus dipaksa dengan tindakan-tindakan intimidatif, kekerasan hingga pembunuhan dalam memperjuangkan wilayah kelolanya,” kata Abdullah saat melakukan rekfleksi Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September.
Walhi Jambi sendiri memprioritaskan ada sebanyak 17 desa dampingan yang sedang berkonflik di sektor kehutanan dan perkebunan dengan tipe konflik yang beragam.
Adapun ke-17 desa dampingan yang berkonflik dan menjadi prioritas untuk percepatan penyelesaian konfliknya di sektor hutan antara lain di Desa Pemayungan, Desa Lubuk Mandarsah, Desa Muara Kilis, Desa Sungai Paur, Desa Sungai Rambai, KT Panglimo Berambai, Desa Olak Kemang dan Desa Gambut Jaya.
Sementara itu untuk desa yang berkonflik di sektor perkebunan antara lain Desa Rondang, Desa Simpang Rantau Gedang, Desa Sungai Bungur, Desa Batu Ampar, Desa Seponjen, Desa Pandan Sejahtera, dan Kelurahan Tanjung dan ditambah Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi harus menghadapi konflik sektor perkebunan yang tanah mereka diambil oleh mafia tanah.
Abdullah mengatakan, atas kondisi ini sebanyak 1.000 petani dari 16 desa dampingan Walhi Jambi yang berada di enam kabupaten Provinsi Jambi akan menyambut hari tani nasional 2022 pada 24 dan 26 September dengan serangkaian kegiatan melalui media untuk menyuarakan bahwa perjuangan kaum tani dalam mendapatkan wilayah kelola mereka belum terhenti dan belum terselesaikan.
“Kemudian puncaknya, kaum tani akan melakukan aksi ‘longmarch’ dan rapat umum bersama pemangku kebijakan di Provinsi Jambi untuk menyampaikan permasalahan dan menuntut kembalinya hak atas tanah kaum tani,” katanya.
Dengan aksi hari tani nasional 2022 ini, seluruh petani yang tergabung dalam dampingan Walhi Jambi meminta sikap tegas dan kebijakan dari pemerintah. Sebuah komitmen untuk menyelesaikan permasalahan agraria di Provinsi Jambi dan mengembalikan wilayah Kelola rakyat Jambi.
Untuk Provinsi Jambi, Walhi mencatat ada 1.223.737 hektar lahan dikuasai oleh korporasi swasta dan BUMN yang terdiri dari sektor kehutanan, perkebunan sawit dan tambang, hal ini menjadi ketimpangan dalam penguasaan tanah di Provinsi Jambi mengingat hanya 215.969.92 Ha yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat dan kemitraan kehutanan kepada rakyat Jambi.
Tidak hanya ketimpangan, keadaan ini juga memaksa masyarakat yang tanahnya ditimpa izin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus menghadapi konflik tiada henti dengan korporasi dan mafia tanah. (fat)