Kediri (pilar.id) – Menulislah, sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian. Demikian kata Pramoedya Ananta Toer. Mengajari anak-anak usia dini menulis bukan hanya bekerja untuk keabadian namun juga belajar memulai impian.
Sebuah pesan WA masuk dari Sunarno, salah satu pengelola Sekolah Alam Ramadhani di 2010 sekaligus dosen IAIN Kediri. Pesan tersebut isinya bahwa saya diminta untuk mengajari anak-anak menulis. Sedehana saja, menulis tentang buku. Bukan membuat resensi melainkan menulis tentang buku.
“Kami mau mengajak anak-anak ke perpustakaan di Kota Kediri. Harapan saya, sepulang dari perpustakaan, mereka akan menulis tentang buku,” katanya. Menulis tentang buku. Hal sederhana dengan tujuan untuk berkenalan dengan buku dengan cara tak hanya membaca, tapi juga menuliskannya.
Mengajari anak-anak kelas 4 dan 5 SD untuk membaca, apalagi menulis adalah tantangan tersendiri ketika godaan gawai lebih memikat. Pak Narno, demikian ia disapa, masih optimis bahwa buku adalah jalan anak-anak untuk mengenal dunia.
Sejak dini, anak-anak ini membiasakan diri dengan buku. Termasuk berbagi cara menulis seperti yang akan saya lakukan pada Februari silam.
Menulis yang Tak Pernah Dikisahkan
Sekolah ini penuh pepohonan. Kegiatan belajar mengajar tak melulu di kelas. Lebih banyak dilakukan di saung-saung bambu. Pun tak ada bel masuk tanda sekolah dimulai. Sekolah dimulai ketika anak-anak sudah berkumpul. Tak ada paksanaan, namun justru anak-anak ini tepat waktu.
Ada sebuah perpustakaan kecil di komplek sekolah alam ini. Taman Baca Mahanani, demikian namanya. Taman baca yang diakrabi anak-anak ini.
Bahkan salah satu anak yang memegang kuncinya. Sayang, si pemegang kunci ini kadang terlupa sehingga ketika anak-anak sudah berkumpul menunggu, si pemegang kunci juga ikut menunggu.
Sementara menunggu, anak-anak itu membuka buku yang ada di meja teras. Buku-buku National Geographic Indonesia edisi lama yang tampak sudah lecek karena sering dibuka. Ada juga buku cerita putri-putrian hingga komik.
Dari cara mereka memperlakukan buku, tampak mereka sudah sangat akrab dengan buku. Beberapa malah saling berebut karena ingin membaca kelanjutan halaman yang kemarin belum selesai dibaca.
“Oh, lupa, ternyata saya yang pegang kunci,” katanya malu-malu sambil berlari ke arah pintu perpustakaan. Ketika pintu terbuka, anak-anak itu masuk lalu mereka mulai menata ruangan untuk acara. Ada yang menyapu, ada pula yang membersihkan meja. Semua dikerjakan bersama-sama.
Materi yang saya berikan cukup sederhana yaitu tentang buku. Mulai dari buku yang mereka suka, buku-buku yang berkesan, melihat judul dan penulis, mengelompokkan jenis-jenis buku, hingga mengulas isinya.
Kemampuan anak sangat berbeda. Ada yang memang suka buku sehingga tak sulit untuk menuliskan buku-buku yang pernah mereka baca.
Ada yang tidak ingat tentang buku-buku yang pernah mereka baca sehingga untuk memancing kemampuan menulis, saya minta anak itu untuk menulis tentang perjalanan. Baik perjalanan yang pernah mereka jalankan, atau perjalanan yang ingin mereka lakukan.
Dari pancingan sederhana ini, ternyata lahirlah ide-ide yang memikat sekaligus mengharukan. Mereka menuliskan mimpi-mimpi mereka melalui pelatihan ini. Mimpi-mimpi yang tak terduga.
Misalnya, ada seorang peserta laki-laki yang menuliskan pengalaman paling membahagiakan ketika ia bersama keluarganya piknik ke pantai bersama keluarganya. Baginya, pertama kali melihat laut. Ketika saya tanya lebih detail, keluarganya itu siapa saja, ia hanya menjawab Sahhala.
“Sebenarnya, piknik yang dimaksud adalah piknik anak-anak Asrama Santri Dhu’afa Sahhala. Mereka beberapa ada yang anak kurang mampu, ada pula yang anak yatim. Mereka sudah menjadi keluarga di sini,” kata Pak Narno.
Soal mimpi perjalanan, ada yang menuliskan keinginannya bisa pergi ke Jakarta. Melihat Monas dan kebun binatang Ragunan. Dari keinginan itu, ia tak ingin berhenti menulis dari yang tadinya mengaku tak bisa menulis. Kemudian buku tulisnya dipenuhi cita-cita perjalanannya.
Sementara ada anak lain yang memang sudah familiar dengan buku. Nabila misalnya, menuliskan resensi tentang buku dongeng yang ia baca. Meringkas kisah yang ia baca lalu memberi komentar dengan tulisan yang lumayan terstruktur.
Ada hal-hal yang membahagiakan ketika beberapa anak memang sudah kenal buku dari keluarganya. Fajar misalnya. Ia mengatakan, ketika ia menangis maka ayahnya membacakan komik. Dari sanalah ia kenal buku dan suka membaca. Buku yang paling ia suka adalah buku-buku tentang antariksa.
“Melihat planet-planet yang jauh, saya jadi membayangkan betapa luasnya alam semesta,” kata Fajar ketika ditanya sebab ketertarikannya pada antariksa.
Melihat hasil tulisan tersebut, Pak Narno pun tak menduganya. Ia berencana, akan mengajak anak-anak untuk ke toko buku agar mereka memilih yang ia suka. Suatu hari nanti (tik/hdl)