Tangerang (pilar.id) – Ibadah puasa sudah memasuki pekan terakhir. Suasana mudik Lebaran sudah mulai terasa. Namun sebelum menunaikan mudik ke kampung halaman, tidak ada salahnya melakukan ngabuburit di Museum Benteng Heritage, Jalan Cilame, Kota Tangerang, Banten.
Museum yang menyajikan sejarah peradaban etnis Tionghoa di Kota Tangerang itu berdiri sejak 2011. Namun bangunan museum sudah ada sejak abad ke-17 atau 300 tahun yang lalu.
Bangunan dua lantai dengan pagar berwarna hitam itu dipenuhi ornamen khas budaya Negri Tirai Bambu. Mulai dari pintu masuk hingga lantai atas museum.
Pemandu Museum Benteng Heritage, Rofi Martin Siahaan menerangkan, dulunya museum ini merupakan rumah yang dijadikan markas organisasi perdagangan Tionghoa di Tangerang. Pada abad ke-19, kemudian rumah dibeli oleh satu keluarga bermarga Loa.
Selama turun temurun, sejak abad 19 hingga 2009, rumah ini dijadikan tempat tinggal oleh keluarga bermarga Loa. Rumah yang letaknya dekat dengan Kelenteng Boen Tek Bio itu kemudian dibeli oleh Udaya Halim. Setelah dibeli rumah langsung direstorasi selama kurang lebih dua tahun. Tepat pada 11 November 2011 Benteng Heritage Museum diresmikan.
“Unsur nama Benteng sendiri diadopsi kehidupan peranakan Tionghoa Tangerang atau disebut China Benteng,” kata Martin kepada pilar.id, Kamis (21/4/2022).
Begitu memasuki museum, pengunjung disambut oleh dua patung singa (cioh sai) yang terbuat dari batu. Kedua patung singa itu berada tepat di sisi kanan dan kiri pintu masuk.
Lobi sekaligus loket karcis terdapat sebagian koleksi museum. Salah satunya adalah barongsai naga (liong). Barongsai naga yang mejeng itu telah tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) pada 2010 atas rekor Naga Nusantara Pertama.
Martin bilang, pengunjung masih diperbolehkan berswafoto di area lobi museum. Namun tidak ketika memasuki bagian dalam. Salah satu alasannya adalah untuk menjaga seluruh artefak agar tidak rusak. Selain itu, dilarangnya foto-foto bertujuan agar pengunjung lebih fokus memperhatikan sejarah koleksi museum yang dipaparkan pemandu.
Sementara itu, area museum di lantai bawah dijadikan tempat khusus untuk acara-acara pertemuan atau rapat. Tak heran, berjejer enam set meja makan lengkap dengan dapur.
Satu-satunya barang yang menarik perhatian di lantai bawah adalah prasasti yang berumur kurang lebih 147 tahun. Prasasti itu merupakan donasi warga sekitar yang disebut dengan China Benteng. Di prasasti tersebut tertulis 81 nama-nama orang Tionghoa keturunan yang berpartisipasi membangun Kota Tangerang. Tepatnya 1873 sebelum Indonesia Merdeka.
Sementara masterpiece museum adalah relief yang berada di lantai dua. Letaknya di area terbuka dan di tengah-tengah bangunan. Ukiran yang diukir di batu itu menceritakan tentang Dinasti Warriors atau Dewa Kwang Kong yang menjadi bagian dari Legenda Sam Kok. Relief berbalut keramik berwarna merah dan hijau itu menceritakan bahwa Dewa Kwang Kong sedang mengantar istri saudaranya, Liu Bei ke suatu tempat.
Dewa Kwang Kong harus melalui lima gerbang. Di setiap gerbangnya terdapat tantangan yang dijaga oleh panglima utusan musuhnya, Cao Cao. Gerbang demi gerbang, Dewa Kwang Kong berhasil mengatasinya. Alhasil, keberhasilan Kwang Kong menjadikan dirinya sebagai panglima perang.
Relief yang menceritakan Dewa Kwang Kong sudah ada sejak bangunan museum didirikan. Relief beserta jendela, pintu dari kayu di setiap sisinya diakui 100 persen masih asli. Maka tak heran museum yang mengadopsi nama dari China Benteng itu memiliki sejarah yang tinggi.
Selain relief masterpiece yang membuat Benteng Heritage Museum memiliki nilai sejarah tinggi, masih banyak lagi artefak-artefak menarik lainnya. “Lebih dari seribu barang-barang bersejarah menghiasi museum. Kebanyakan barang yang dipajang merupakan koleksi pribadi Udaya Halim. Sisanya merupakan donasi dari semua orang dan peninggalan rumah,” jelas Martin.
Semua koleksi yang ada di dalam museum setiap harinya dibersihkan. Untuk artefak berbahan kayu menggunakan kain basah, sedangkan kaca menggunakan kain kering Sebisa mungkin debu yang menempel di barang-barang hilang. Sementara masterpiece museum menggunakan jasa pembersih dari luar. Tidak sembarangan orang bisa membersikannya. Itu pun tiga tahun sekali.
Sedangkan lantai museum, hanya di pel menggunakan air. Tanpa pembersih yang mengandung bahan kimia. Pemakaian pembersih lantai diklaim dapat merusak lantai berbahan kayu itu. Mengingat, lantai museum merupakan asli bawaan bangunan.
Bagi Anda yang tertarik ngabuburit di Museum Benteng Heritage, siap merogoh kocek Rp30.000 per orang. Bagi anak-anak di bawah 5 tahun, pihak pengelola tidak mengenakan biaya alias gratis. Selain itu, Anda yang hendak berkunjung ke Museum Benteng Heritage disarankan menggunakan transportasi roda dua atau kendaraan umum. Mengingat, lokasi museum berada di tengah pasar.
Namun sayang seribu sayang, yang membuat pelancong seringkali kecewa ketika berkunjung ke Museum Benteng Heritage adalah tidak diperkenankannya berfoto ria di hadapan koleksi museum atau di bagian dalam museum. Akan tetapi, setiap pengunjung yang datang ke Museum Benteng Heritage dijamin akan kaya ilmu dan pengetahuan, terutama soal awal mula kemunculan etnis Tionghoa di Kota Tangerang. (her/hdl)