Semarang (pilar.id) – Lagi di Kota Semarang selam libur Imlek kurang rasanya jika belum menimati sajian khan jajanan atau oleh-oleh khasnya yakni lumpia.
Salah satu lumpia yang menjadi rekomendasi jujugan para wisatawan dan pengunjung yang ada di Kota Semarang ada Lumpia Cik Meme.
Lumpia Cik Meme dengan rasa dijamin nendang di mulut sebab resep langsung dari sang maestro pencipta lumpia asli Semarang pertama kali.
Lumpia Cik Meme sama seperti lumpia kebanyakan, terbuat dari bahan dasar campuran rebung, telur, sayuran segar, daging, dan makanan laut. Kemudian digulung dalam adonan tepung gandum sebagai kulit pembungkusnya.
Namun yang membedakan adalah rasanya, sebab Cik Meme sesuai nama produk dan nama orang sebagai pewaris generasi ke lima dari maestro lumpia asli Semarang, Tjoa Thay Yoe. Memiliki resep rahasia nenek moyangnya yang masih terjaga hingga sekarang.
Pewaris lumpia Semarang generasi kelima Meilani Sugiarto atau kerap disapa Cik Meme menceritakan sejarah awal mula lumpia masuk ke Semarang.
Ia mengatakan perkembangan sejarah lumpia di Semarang tak bisa lepas dari peranan pasangan suami istri Tionghoa – Jawa, Tjoa Thay Yoe dan Mbok Wasi.
Dahuku kala, keduanya sebagai penjual lumpia keliling di pelosok gang-gang Kota Semarang. Mereka berdua merupakan penjual lunpia dengan ciri khasnya masing-masing.
Awalnya sang moyang Cik Meme, Tjoa Thay Yoe, yang asli Cina dari Provinsi Fu Kien datang ke Semarang sekitar tahun 1800.
Dia memulai membuka usaha dagang makanan khas China, sejenis martabak berisi rebung dan dicampur daging babi yang digulung dengan rasa asin. Jualannya laris manis digemari masyrakat keturunan Tionghoa dan Semarang.
Di waktu yang sama, ada Mbok Wasi pedagang asli Semarang menjual mirip martabak milik Tjoa Thay Yoe, bedanya martabak Mbok Wasih diisi dengan campuran daging ayam cincang, udang dan telur dengan rasa manis.
“Keduanya berdagang keliling dari gang ke gang di Kota Semarang tahun 1850 an, walau bersaing dalam berdagang tapi secara sehat,” kata Cik Meme.
Hingga akhirnya, tahun 1870 kedua pedagang itu menikah, mereka lalu menciptakan jajanan khas Semarang menggabungkan akulturasi budaya antara Tionghoa dan Jawa pada racikan lunpianya. Menghilangkan isian daging babi dengan daging ayam dan telur.
“Ada perpaduan yang awalnya hanya berisi potongan rebung kemudian ditambahkan juga telur ayam serta bumbu rempah lainnya agar rasanya semakin nikmat. Hingga terciptalah lunpia dengan rasa istimewa khas Semarang yang memadukan rasa gurih, asin, dan manis,” katanya.
Sepeninggal Tjoa Thay Joe, resep lunpia khas Semarang diwariskan kepada putranya yaitu Siem Gwan Sing sebagai generasi kedua yang menikah dengan Tjoa Po Nio pada tahun 1930.
Lunpia mulai menjadi primadona pada saat itu, baik oleh para kolonial Belanda maupun penduduk pribumi.
Lunpia kembali diturunkan ke generasi ketiga, yakni tiga anak dari generasi kedua (Siem Gwan Sing & Tjoa Po Nio).
Ketiganya yang saat ini masih eksis seperti Siem Swie Nie, yang lebih dikenal dengan nama Lunpia Mbak Lien, ada di Jalan Pemuda Semarang.
Lalu ada anak kedua Siem Swie Kiem, dengan lumpia yang dijualnya di Gang Lombok (Pecinan) atau Lunpia gang Lombok.
Dan anak ketiga Siem Hwa Nio dikenal dengan Lunpia Mataram. Ketiganya masih eksis hingga sekarang di lokasi masing-masing.
Cik Meme sendiri sebagai generasi kelima dari ayahnya, Tan Yok Tjay, dari generasi keempat.
Tan Yok Tjay dikenal julukan sebagai master chef lumpia Mataram karena dedikasinya melanjutkan perjuangan keluarganya untuk melestarikan lunpia.
Lunpia Cik Meme sendiri beralamat di Jalan Gajahmada Nomor 107 Semarang, gerai tokonya sekaligus kafe selalu ramai pengunjung.
Pengunjung bisa menikmati lumpia sembari nongkrong atau bisa juga take away dibawa pulang untuk dinikmati di rumah maupun dalam perjalanan. (Aam)