Probolinggo (pilar.id) – Penetapan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sebagai 10 Destinasi Pariwisata Prioritas, atau disebut ’10 Bali Baru’, yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 2015 menimbulkan pemikiran lebih mendalam bagi para pemerhati kawasan TNBTS.
Program yang menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Kepariwisataan Nasional merupakan program nasional yang menjadi mandat untuk dilaksanakan.
Ada satu hal yang luput, bahwa sebenarnya masyarakat Tengger memiliki forum adat yang masih berdaulat yaitu Paruman Dukun Pandita Tengger (pertemuan dukun) yang dihelat setiap 6 bulan sekali.
Pertemuan inilah yang mengikat masyarakat Tengger beserta adat istiadatnya. Jika pemerintah ingin melibatkna masyarakat dalam pengambilan keputusan, maka Paruman Dukun ini menjadi forum yang tepat. Hanya selama ini, forum ini merupakan forum internal para dukun yang tidak pernah mengundang pihak luar.
Ada yang istimewa dalam Paruman Dukun Pandita Tengger (pertemuan dukun) pada akhir tahun 2021 silam. Pada kesempatan ini, mereka mengundang TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) untuk hadir. Dalam catatan sejarah, baru pertama kali terjadi. Hal ini memberi makna yang besar.
“Kami merasa sangat berterima kasih bisa diundang di paruman ini. Ada banyak permasalahan dan pengembangan TNBTS yang memang harus melibatkan masyarakat adat. Agar kami tidak salah langkah,” kata Novita Kusumawardhani, Plt. Kepala Balai Besar TNBTS.
Tak hanya pihak TN, beberapa masyarakat dan LSM yang peduli dengan Tengger pun turut hadir dalam acara tersebut. Kelompok masyarakat yang peduli dengan TN dan masyarakat adat Tengger yang khawatir pada pengembangan TNBTS sebagai ’10 Bali Baru’.
Pengembangan wisata yang dikhawatirkan mengganggu kelestarian alam dan juga keberlangsungan adat yang menata kehidupan masyarakat bertahun-tahun. Meski sebenarnya, kelestarian adat ini juga menjadi salah satu alasan wisatawan datang ke Tengger.
“Kami masyarakat Tengger mewarisi sikap leluhur kami, Rara Anteng dan Joko Seger. Yang tidak suka ribut dengan orang lain,” kata Satomo, Ketua Dukun Pandita Tengger.
Nilai-nilai demikian ini ada sisi positif dan negatif. Nilai positif sebab memberikan tata kehidupan yang tenteram dan dekat dengan alam. Sementara dampak negatifnya, bahkan pada orang yang memanfaatkan pun masyarakat Tengger tetap bersikap baik sehingga merugikan masyarakat adat.
Mengembalikan Nama Berdasar Toponimi
Pada kesempatan tersebut, Novi mempresentasikan perencanaan pengembangan wisata kawasan TNBTS secara global sekaligus meminta masukan dari pada dukun. “Kami membutuhkan masukan dari para Romo Dukun di sini agar kami tidak salah arah,” kata Novita.
Ada beberapa hal yang disampaikan oleh Satomo, Ketua Dukun Pandita Tengger. Salah satunya yaitu penamaan kawasan yang selama ini hanya mempertimbangkan ketenaran dikembalikan sesuai dengan toponiminya.
Satomo menyampaikan, nama-nama kawasan yang tren yang sudah telanjur dikenal oleh masyarakat itu sesungguhnya memiliki nama berdasarkan toponimi.
Nama-nama tersebut adalah Bukit Teletubies- Lembah Watangan, Pasir Berbisik- Pusung Gede, Bukit Cinta – Lemah Pasar, Bukit Kingkong – Kedaluh, B29- Pucak Sari, dan P30-Pudak Lembu.
Nama tentu saja bukan sekadar penanda namun juga mengandung kisah dan makna, dalam hal ini, merupakan catatan tak tertulis dari adat Tengger. Apabila nama itu hilang dan yang dipakai justru nama yang ahistori demi tren belaka, maka akan memusnahkan suatu kisah yang ada.
Di sisi lain, sesungguhnya menggunakan nama-nama yang berdasarkan toponimi juga wujud dari tetirah sekaligus mendapat pengetahuan.
“Papan nama tembok juga akan kami ganti,” janji Novita yang disambut tepuk tangan oleh para hadirin, khususnya para pemerhati Tengger. Pembangunan papan nama tembok pada tahun 2017 sebagai sarana berswafoto sempat menuai kritik khususnya bagi pemerhati visual.
25 Tempat Sakral
Selain mengembalikan nama sesuai toponimi, Paruman ini juga menghasilkan dialog tentang lokasi pengembangan TNBTS. Masyarakat adat melalui para dukun ini memberikan masukan kepada TNBTS mengenai lokasi-lokasi yang tidak boleh dibangun sebab merupakan lokasi sakral.
“Kami sebenarnya hanya membutuhkan tak lebih dari 10m persegi di sekeliling lokasi tersebut,” kata Satomo.
Lokasi yang dimaksud yaitu 25 lokasi yang secara adat dilarang untuk apapun, merupakan sthana (tempat tinggal) putra Loro Anteng dan Joko Seger. Putra dan sthananya adalah Kaki Tejo Laksono/Kaki Dukung (Watu Wungkuk), Tumenggung Klinter (Gunung Pananjakan), Kaki Sinta Wiji (Midangan), dan Kaki Rawot (Sumber Manik).
Kemudian Kaki Dadhung Awuk (Banyu Pakis), Kaki Teku (Guyangan), Kaki Pranoto (Poten), Tumenggung Klewung (Gunung Ringgit), Kaki Tunggul Wulung (Cemara Lawang), Kaki Baru Klinthing (Tengking), Kaki Jiting Jinah (Gunung Jihnaan), Kaki Prabu Siwah (Gunung Lingga), Kaki Cokro Pranoto Aminoto (Gunung Gendera), dan Kaki Jenggot (Rujag).
Selain itu juga Kaki Tunggul Ametung (Tunggukan), Demamg Diningrat (Gunung Semeru), Kaki Puspo Genthong Sari (Goa Widodaren), Kaki Juru Niti (bajangan), kaki Sindu Joyo (Wanangkara), Raden Sapu Jagad (Pudak Lembu), Raden Dumeling (Pusung Lingker), Raden Bagus Waris (Watu Balang), Raden Mas Sigit (Gunung Batok), Ical Cokro Noto (Pranten), dan Shang Hyang Dewa Kusuma Kusuma (Gunung Bromo).
Sthana tersebut biasanya ditandai dengan tugu atau bangunan serupa candi kecil, ada yang sudah dikeliling tembok, ada yang masih berupa tugu saja. Masyarakat Tengger kerap memberikan sesaji pada hari-hari tertentu untuk menghormati leluhur mereka (tik/hdl)