Surabaya (pilar.id) – Pemerintah Indonesia telah meluncurkan inisiatif untuk menyebarkan layanan fasilitas internet secara merata di seluruh wilayah, dengan tujuan meningkatkan akses pendidikan, kesehatan, dan layanan publik pemerintahan. Langkah tersebut diwujudkan melalui peluncuran Satelit Satria-1 (Satelit Republik Indonesia).
Satelit Satria-1, yang telah diluncurkan ke ruang angkasa pada bulan Juni 2023, diharapkan akan beroperasi pada awal tahun 2024. Satelit ini dirancang untuk mencakup wilayah timur dan terpencil yang belum terjangkau oleh satelit komunikasi Indonesia lainnya.
Keberadaan Satelit Satria-1 mendapat sambutan positif dari Asif Ali Zamzami SST MSc, Dosen Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan di Fakultas Teknik Maju dan Multidisiplin (FTMM), Universitas Airlangga. Sebagai pakar yang fokus pada pengolahan sinyal 5G/6G untuk Satelit Internet of Things (IoT), Zamzami menyatakan bahwa Satria-1 adalah teknologi terbaru dan merupakan satelit terbesar di Asia.
“Satria-1, dengan tinggi sekitar 6,5 meter, tergolong sebagai satelit terbesar di Asia. Kehadiran satelit besar ini mendukung kecepatan internet hingga 150 Gbps, memungkinkan jangkauan yang lebih luas. Keberadaan satelit besar juga memberikan kemampuan penyimpanan energi yang lebih baik, menjadikannya lebih awet dan tahan lama,” ungkapnya.
Zamzami juga menjelaskan bahwa Satria-1 berhasil mencapai orbit 146ᵒ Bujur Timur, dengan titik tersebut berada tepat di atas Pulau Papua pada ketinggian lebih dari 36.000 km di atas permukaan bumi.
“Sebelum Satria-1, pemerintah telah meluncurkan satelit sebelumnya. Namun, ini adalah kali pertama satelit berhasil mencapai orbit di Wilayah Timur Indonesia,” katanya.
Dalam konteks penerimaan sinyal dan pengiriman informasi, Zamzami menyebutkan bahwa terdapat 11 lokasi stasiun bumi yang berperan sebagai pemancar dan penerima informasi dari Satelit Satria-1. Lokasi tersebut mencakup Cikarang (lokasi pusat kendali), Batam, Banjarbaru (pusat kendali cadangan jika stasiun Cikarang bermasalah), Tarakan, Pontianak, Kupang, Ambon, Manado, Manokwari, Timika, dan Jayapura.
Zamzami menekankan bahwa pembuatan satelit dengan fokus pada daerah-daerah terpencil merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam memfasilitasi komunikasi yang merata. Menurutnya, satelit menjadi alternatif yang lebih efisien untuk mencakup wilayah dengan infrastruktur terbatas, dibandingkan dengan penggunaan Base Transceiver Station (BTS).
“Penggunaan komunikasi nirkabel di daerah yang kurang kabel, seperti di Papua, sulit dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk meluncurkan satelit sebagai solusi untuk menyamakan layanan internet,” tambahnya.
Zamzami juga mencatat bahwa umur pakai satelit sekitar 15 tahun, yang menurutnya, merupakan jangka waktu yang memadai untuk memberikan manfaat maksimal dari keberadaan satelit.
“Meskipun pembuatan satelit, terutama yang besar, membutuhkan investasi yang signifikan, umur pakainya yang lama dianggap efisien dalam memberikan layanan internet jangka panjang,” tandasnya. (hdl)