Solo (pilar.id) – Teater Gadhang sukses menggelar pementasan dengan naskah Anai-Anai di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Selasa (25/10/2022).
Pentas produksi XXIX ini dihadiri sekitar 300 penonton. Penuhnya kursi penonton Teater Arena dibayar dengan pertunjukan apik dari para pemain dan tim artistik yang dikomandoi sutradara Arsitadewi.
Menyuguhkan pertunjukan drama surealis (absurd) dengan banyak pesan tentang feminisme, kesenjangan sosial, fanatisme agama, retorika politik, konflik keluarga, dan carut marutnya sistem pendidikan.
“Ini pentas garapan saya yang pertama, alhamdulillah banyak dapat apresiasi dari penonton,” kata Arsitadewi.
Dijelaskan, untuk proses pementasan ini pihaknya berproses sekitar 3-4 bulan untuk mengolah keaktoran dan menyiapkan tim artistik seperti musik, setting, lighting, dan kostum.
“Syukur di Gadhang punya tim yang solid, sehingga selama proses hingga pementasan berjalan sesuai rencana,” tambahnya.
Naskah Anai-Anai sendiri berkisah realita kehidupan manusia dalam pengembaraannya mencari Tuhan dan kebahagiaan.
Anai-anai atau biasa disebut laron merupakan hewan yang kehadirannya menunggu musim hujan dan berkembangbiak di bawah lampu (cahaya). Ketika gelap anai-anai akan pergi, menghilang, dan meninggal.
Konsep cahaya disimbolkan tentang nilai ketuhanan, kebahagiaan, dan ketenangan. Namun kadang cahaya (kebahagiaan) manusia sering disandarkan kepada orang atau sesuatu yang lain.
Tidak menyadari bahwa cahaya itu sebenarnya ada dalam diri manusia. Sementara kita lebih suka menjadi anai-anai daripada cahaya itu sendiri. Mencari kebahagiaan, bukan menyebarkan kebahagiaan.
Sepanjang pertunjukan, banyak dialog sarkastik untuk menyindir politikus, tenaga dan sistem pendidikan, fenomena percintaan, konflik rumah tangga, lunturnya kebudayaan, dan fanatisme keagamaan. Namun benang merah cerita tetap pada keteguhan anai-anai (Dongok) yang setia mencari cahaya (Tuhan).
“Aku harus tetap berjalan untuk menemukan manusia. Sekeliling yang tampak hanya kumpulan monyet dan iblis bertopeng manusia. Rakus dan tamak. Setiap saat berganti muka. Aku dituduh gila, sedangkan mereka sendiri gila,” salah satu dialog tokoh utama Dongok.
“Mungkin ada yang ingin sepertiku. Sedangkan aku, selalu ingin seperti mereka. Refleksi sepanjang hari kalau manusia tidak akan berhenti untuk ingin,” tambahnya.
Dongok sendiri diperankan oleh Ayung. Meskipun dalam kondisi sakit, ia merasa proses pentas kali ini menjadi pembuktian tentang kualitas pertunjukan yang memadukan unsur logika dan estetika panggung.
“Saya berharap penonton mengerti pesan yang ingin kami (Teater Gadhang) sampaikan,” kata Ayung.
Pesan yang ingin disampaikan adalah orang-orang menganggap dengan punya banyak uang, pendidikan tinggi, kerja mapan merupakan faktor utama kebahagiaan. (riz/hdl)