Jakarta (pilar.id) – PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mengenalkan inovasi terbarunya dalam pengelolaan limbah air terproduksi di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB 2023 atau Conference of the Parties (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
Disampaikan dalam keterangan tertulis, Minggu (3/12/2023), langkah ini diambil sebagai bagian dari komitmen PHR untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.
Inovasi yang dikembangkan oleh PHR berbasis alam atau Nature-Based Solution (NBS) ini fokus pada pengelolaan limbah air terproduksi pasca proses produksi energi. Pendekatan ini melibatkan penggunaan lahan basah buatan (Constructed Wetland) dengan teknologi hidro, diimplementasikan menggunakan prinsip hydraulic loading rate, memungkinkan pengelolaan limbah dengan memanfaatkan gravitasi.
PHR telah berhasil membangun lahan basah buatan seluas 5.000 m2 di salah satu wilayah kerja Blok Rokan. Proyek ini menjadi tonggak awal dalam upaya PHR dalam pengelolaan limbah perusahaan. Saat ini, PHR tengah mengembangkan 14 konstruksi lahan basah tambahan di berbagai wilayah kerjanya.
Hasil positif dari implementasi lahan basah buatan terlihat dari penurunan emisi sebesar 1.341 tCO2eq selama periode Januari hingga Oktober 2023. Dampak positif lainnya adalah pengurangan jumlah limbah air yang dibuang. Sebelum konstruksi lahan basah, pembuangan air mencapai 11.30 barrels water per day (bwpd), sedangkan saat ini hanya sebesar 7.217 bwpd.
Erwin Sinisuka, Vice President Facility Engineering PHR, menyatakan bahwa pembangunan lahan basah buatan adalah upaya konkret PHR dalam menjalankan operasional yang ramah lingkungan sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Kami membuat lahan basah agar air buangan bisa terkelola dengan baik,” katanya dalam sesi “Unlocking the Potentials of Nature Based Solutions for Adaptation and Mitigation of Climate Change” di Pavilion Indonesia pada COP28, Jumat (1/12).
Lebih lanjut, Erwin menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan basah tersebut. “Masyarakat akan selalu menjadi pusatnya, karena keterlibatan mereka bisa menjadi kunci sukses pengelolaan lahan basah.”
PHR juga menjalin kolaborasi dengan masyarakat setempat untuk mengelola lahan basah, menggunakan bahan dan tanaman penyangga lokal, seperti sabut kelapa sebagai penyaring. Selain itu, air yang sudah disaring dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, menciptakan dampak positif yang lebih luas.
I Nyoman Widaryantha Naya, Vice President Upstream Business Operational Excellence Health, Safety, and Environmental PHR, menambahkan bahwa lahan basah buatan ini juga berperan sebagai wilayah serapan air yang dapat mengurangi risiko banjir. “Warga setempat juga kini menggunakan kawasan tersebut menjadi jalur transportasi skala kecil dengan menggunakan perahu.”
Dalam sesi yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti, menyoroti potensi besar Indonesia dalam mengembangkan Nature-Based Solutions (NBS), dengan 15 persen potensi NBS dunia berada di Indonesia. Pemerintah Indonesia berencana untuk mengembangkan peta jalan karbon biru, mengikuti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Pertamina sebagai pemimpin dalam transisi energi berkomitmen untuk mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDG’s). Upaya ini sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina. (riq/hdl)