Semarang (pilar.id) – Kota Semarang diterjang banjir dalam sepekan ini dengan genangan dan limpasan yang merendam beberapa lokasi.
Banjir bagi warga Kota Semarang adalah hal yang sudah biasa terjadi. Tak hanya sebab air hujan saat cuaca cerah rob banjir pun selalu hadir.
Banjir dan Kota Semarang pun akhirnya identik dengan nama ibu kota Jawa tengah ini.
Sejarah Kota Semarang identik dengan banjir pun sudah tercatat beberapa abad yang silam. Bahwa awalnya Kota Semarang adalah sebuah lautan pesisir yang menjadi daratan.
Tak heran, air laut pun yang sedari dulu ada kini mencari jalannya sendiri untuk kembali bermuara di Kota Semarang.
Seorang musisi keroncong Waljinah pun mencantumkan sebaris syairnya “Semarang kaline banjir”.
Sepenggal syair langgam Jawa ini sering disatir oleh berbagai kalangan yang memiliki perhatian terhadap persoalan banjir di Kota Semarang yang tidak pernah selesai.
Melansir laman resmi Geologi.co.id, sejarah Kota Semarang Jawa Tengah berawal kurang lebih pada Abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota).
Pragota merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil.
Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan.
Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut.
Pada akhir abad ke-15 M Pangeran Made Pandan, untuk menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota.
Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang.
Sejarah terbentuknya kota Semarang cukup lama dan penuh kelok karena kota Semarang terbilang kota tua dan berkelok-kelok bagaikan aliran air sungai Semarang.
Pada masa lampau ketinggian air sungai Semarang adalah berkah sehingga kapal-kapal yang masuk dari laut bisa berlayar aman jauh ke hulu.
Seiring dengan pertambahan warga kota dan perluasan areal pemukiman, air berlebih justru sebaliknya menjadi menakutkan karena dapat menimbulkan banjir.
Wilayah Semarang terdiri dari dataran rendah di sebelah utara dan daerah perbukitan di sebelah selatan yang mencapai 350 meter di atas permukaan laut.
Tidak heran jika Belanda menyusun konsep pengendali banjir dengan membangun Banjir Kanal Barat (BKB) pada tahun 1879 dan Banjir Kanal Timur (BKT) tahun 1890an.
Banjir Kanal Barat dan Timur tersebut menjadi perisai Kota Semarang saat debit sungai tinggi.
Selain untuk mengatasi permasalahan banjir, kanalisasi yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian di Kota Semarang.
Berdasarkan beberapa penelitian penurunan permukaan tanah di kawasan pesisir Kota Semarang sudah mencapai lebih dari 10 sentimeter setiap tahun.
Penurunan permukaan tanah di kawasan pesisir Kota Semarang diperparah karena adanya pengambilan air tanah yang eksploitatif.
Selain itu, penyebab lainnya yakni karena adanya pembebanan bangunan. Kawasan pesisir Kota Semarang itu masih tanah muda artinya mengalami pemampatan terus menerus.
Jadi tanpa ada beban pun sebenarnya sudah menurun. Belum lagi kalau ada beban di atasnya.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap tahun 2010 memberikan gambaran pendugaan genangan air laut di kota Semarang pada tahun 2100.
Berdasarkan data genangan air laut menggabungkan hasil analisis subsidence level di Semarang (yaitu sekitar 2 cm/tahun, menurut Hirose et al., 2001) serta perkiraan kenaikan muka air laut sebesar 1 m/abad.
Demikian juga sebagai efek yang diharapkan dari kenaikan 50 cm pada ketinggian air pasang.
Berdasarkan analisis menggunakan data SRTM, dapat kita lihat bahwa luasan wilayah yang tergenang akibat pengaruh SLR meluas hampir ke seluruh Pesisir Semarang dengan cakupan wilayah yang luas. Hampir seluruh Semarang bagian utara juga akan terendam air.
Tanpa penurunan tanah, kota-kota pesisir sebenarnya sudah mendapat ancaman tenggelam dari kenaikan muka air laut akibat krisis iklim.
Pada akhirnya, aktivitas manusia terutama ekstraksi air tanah menjadi penyebab utama penurunan muka tanah yang pada akhirnya berdampak pada banjir rob di kota-kota pesisir.
Perlu kebijakan yang nyata, bukan hanya membuat tanggul, atau melarang dan memberi pajak tinggi bagi pengguna air tanah dalam.
Tapi mengelola tata guna lahan dengan masterplan penanganan banjir, kalau tidak maka banjir akan semakin parah dan bahkan Semarang bisa tenggelam seperti dahulu kala saat masih bernama Pragota. (Aam)