Surabaya (pilar.id) – Tren baru yang mengemuka di kalangan remaja Indonesia, khususnya di platform media sosial seperti TikTok dan Instagram, menunjukkan pemikiran bahwa sekolah itu tidak penting, lebih baik bermain kripto.
Hal ini memunculkan keprihatinan tersendiri bagi ahli psikologi dari Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Rakhman Ardi MPsych, yang juga merupakan dosen di bidang psikologi media.
Menurut Dr. Ardi, pemikiran tersebut tidaklah wajar bagi kalangan remaja. “Pemikiran seperti itu bukanlah sesuatu yang seharusnya kita anggap wajar. Namun, kita perlu memahami bahwa ini adalah fase di mana mereka sedang mencari jati diri, berusaha untuk hidup lebih mandiri,” ungkapnya.
Masa remaja merupakan periode yang rentan bagi manusia dalam mencari identitas diri. Salah satu cara yang umum digunakan adalah dengan mengidentifikasi diri mereka dengan idola atau tokoh yang dianggap sebagai sumber inspirasi utama.
Namun demikian, Dr. Ardi menyatakan bahwa pencarian identitas ini seringkali tidak didukung oleh kematangan emosional dan kognitif yang memadai. Hal ini mengakibatkan remaja seringkali menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh idola mereka tanpa melakukan refleksi yang cukup.
Menurutnya, pemikiran bahwa sekolah tidak penting menjadi hasil dari paparan yang berlebihan terhadap media sosial. Ketika remaja tidak memiliki pengawasan yang cukup dari orang tua dan tidak ada kontrol normatif, maka pemikiran semacam ini bisa berkembang dengan cepat.
Namun, tidak semua remaja terpengaruh dengan tren tersebut. Mereka yang memiliki literasi digital yang baik cenderung lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima. Literasi digital ini memberikan perlindungan kepada mereka dalam menyikapi informasi yang diterima dari idola mereka.
Salah satu faktor lain yang dapat memengaruhi pemikiran remaja adalah kondisi keluarga. Keluarga yang tidak harmonis cenderung membuat remaja mencari referensi atau panutan di luar lingkungan keluarga mereka.
Dalam mengatasi masalah ini, Dr. Ardi menyarankan adanya pendekatan sistemik, termasuk pengenalan risiko-risiko yang ada di internet sejak usia dini. Dia menegaskan perlunya memahami cara kerja teknologi digital dan dampaknya, serta bagaimana teknologi tersebut mempengaruhi mereka dan orang lain.
Solusi jangka panjang yang dia tawarkan adalah menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis, sehingga remaja dapat merasa nyaman dan terlindungi saat sedang mencari jati diri mereka. “Pencarian jati diri pasti akan terjadi. Namun, jika suasana di rumah memberikan kenyamanan, maka proses pencarian tersebut dapat lebih terkontrol dan mantap,” pungkasnya. (ret/hdl)