Surabaya (pilar.id) – Kabar penarikan vaksin AstraZeneca baru-baru ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat. Penarikan vaksin secara sporadis berdampak pada kepercayaan publik terhadap program vaksinasi nasional, menimbulkan keraguan terkait keamanan dan efektivitas vaksin serta kekhawatiran untuk mengikuti program vaksinasi selanjutnya.
Sosiolog Dr. Septi Ariadi, Drs., MA, seorang penggiat keilmuan Sosiologi Kesehatan, memberikan pandangannya mengenai isu ini. Dr. Septi mengungkapkan bahwa kabar penarikan vaksin AstraZeneca sebenarnya sudah beredar sejak lama, namun menjadi topik hangat saat ini.
“Penarikan vaksin tersebut tentu bukan tanpa alasan, ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Namun, cara pemerintah yang terkesan sporadis dalam menyampaikan informasi dan melakukan penarikan dapat memicu kecemasan publik,” ujarnya.
Menurut Dr. Septi, isu ini memiliki dampak signifikan, terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman positif dengan AstraZeneca serta kalangan kelas bawah. Meskipun kasus COVID-19 menunjukkan penurunan, penarikan tersebut menyebabkan kecemasan dan kekhawatiran. Terutama bagi mereka yang telah merasakan manfaat AstraZeneca dan belum menyelesaikan vaksinasi lanjutan.
Selain itu, masyarakat kelas bawah dengan keterbatasan akses terhadap sumber daya kesehatan akan semakin termarjinalisasi. “Penarikan vaksin dapat memperburuk situasi dan mempersulit mereka untuk mendapatkan perlindungan yang memadai dari COVID-19,” jelasnya.
Di sisi lain, kekhawatiran terhadap efek samping AstraZeneca dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, meskipun para ahli dan otoritas kesehatan menekankan bahwa risiko efek samping serius dari vaksin AstraZeneca masih tergolong rendah. “Beberapa individu tetap merasa khawatir terhadap kemungkinan terkena komplikasi yang jarang terjadi,” tambahnya.
Oleh karena itu, Dr. Septi menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan penjelasan yang akurat, transparan, dan komprehensif mengenai alasan penarikan vaksin AstraZeneca. “Komunikasi yang efektif mampu mengurangi kekhawatiran publik serta membangun kepercayaan terhadap program vaksinasi nasional,” katanya. Pemerintah perlu terbuka tentang efek samping AstraZeneca, efektivitasnya, kegunaannya, dan dampak minimal yang ditimbulkan. Sosialisasi ini harus melibatkan tenaga kesehatan dan media massa.
Dr. Septi menghubungkan fenomena ini dengan teori Sosiologi Kesehatan, yakni Prevention Action. “Saat dihadapkan pada informasi tentang tindakan pencegahan kesehatan, seperti vaksin, individu akan menimbang risiko dan manfaat yang terkait dengan tindakan tersebut,” jelasnya. Beberapa orang mungkin tetap menggunakan vaksin tersebut karena merasa manfaatnya lebih besar daripada risikonya, sementara yang lain memilih vaksin merek lain atau bahkan tidak melakukan vaksinasi sama sekali.
Fenomena penarikan vaksin AstraZeneca menunjukkan kompleksitas dari berbagai sektor. Pemerintah dan otoritas kesehatan perlu memberikan informasi yang akurat, transparan, dan mudah dipahami tentang alasan penarikan vaksin, risiko dan manfaat vaksin, serta langkah selanjutnya. Penarikan ini menjadi pengingat bahwa program vaksinasi adalah proses yang dinamis dan berkelanjutan. Otoritas kesehatan harus terus memantau keamanan dan efektivitas vaksinasi nasional. (ipl/hdl)