Diego Armando Maradona meninggal, Rabu (25/11/2020). Dan saya teringat Piala Dunia Meksiko 1986: piala dunia pertama yang saya tonton dengan kesadaran tentang sepak bola dan kerelaan untuk begadang.
Bersama paman, saya nonton di tetangga depan rumah. Tidak terlalu bagus televisinya, tapi sudah cukup layak. Saya pakai uang saku untuk beli stiker Panini, semacam majalah yang berisi kumpulan foto pemain-pemain dari 24 tim negara peserta piala dunia saat itu.
Saya mengenal nama-nama Gary Lineker, Peter Shilton, Zbigniew Boniek, Antonio Cabrini, Karl-Heinz Rummenige, dan tentu saja Diego Armando Maradona. Jujur saja, saya bukan penggemar berat Maradona dan Argentina. Saya lebih suka kolektivitas Jerman Barat, kendati bagi banyak orang mungkin membosankan. Menurut saya, begitulah seharusnya sepak bola dimainkan.
Namun saya berbohong, jika mengatakan tidak mengagumi keindahan seorang bertubuh pendek dan gempal menggiring bola, meliuk-liuk, melewati para pemain Inggris dengan kaki yang seolah-olah punya mata. Maradona adalah nama lain bagi keelokan sepak bola, bahkan ketika tangannya menjadi senjata untuk mencetak gol ke gawang Inggris.
Dia adalah Jose Mourinho untuk versi pemain: bisa mengubah kontroversi agar dikenang dalam sejarah. Dan mendadak ‘Tangan Tuhan’ menjadi gelar eksklusif untuknya. Fans sepak bola Inggris membencinya. Penggemar sepak bola seluruh dunia bertepuk tangan untuknya.
Belakangan, saya makin menghargai perjuangannya memimpin Argentina merebut Piala Dunia 1986, setelah buku ‘Touched by God: How We Won The Mexico ’86 World Cup’ terbit. Buku ini semacam otobiografi Maradona yang ditulis bersama Daniel Arcucci dengan memusatkan perhatian pada cerita di balik sukses di Meksiko.
Tim Nasional Argentina mengawali perjalanan di Meksiko dengan sebuah kontroversi. Presiden Raul Alfonsin ingin memecat pelatih Carlos Bilardo. Alasannya sederhana: dia tak menyukai gaya main tim yang dilatih Bilardo.
Maradona menjadi orang pertama yang membela Bilardo. “Jika kalian memecat Bilardo, saya keluar. Jadi jelas, kalian akan memecat dua orang dan bukan satu. Jika dia pergi, saya pergi,” katanya.
Padahal, Maradona sebenarnya tahu jika Bilardo tidak terlalu piawai meramu taktik. Capaian Argentina tidak karena Bilardo, namun karena kecakapan dan pengalaman para pemainnya. “Sehari sebelum melawan Korea, kami tidak tahu apa strategi kami. Kami tidak tahu apakah Buuruchaga akan ditaruh di sisi kiri atau kanan, apakah Sergio Daniel “Checho” Batista bermain di tengah atau tetap di sayao,” katanya.
Bilardo menunjuk Maradona menjadi kapten timnas. Usia Maradona masih 24 tahun, dan ia menggantikan posisi Daniel Passarella, legenda Piala Dunia 1978. Pers pun mengabaikannya. Para jurnalis selalu bertanya soal Passarella kepada Bilardo, bukan soal Maradona.
Maradona tidak peduli. Passarella bukan masalah. Bahkan cedera yang dialaminya saat memperkuat Napoli dalam Serie A juga bukan masalah. Dia hanya ingin bermain untuk tim nasional. “Saya merasa kami sangat bagus, terlalu bagus. Kami bisa menjadi juara dunia,” katanya kepada agen pemain Guillermo Cóppola.
Namun, timnas terbelah antara pemain yang mendukung Bilardo dengan pemain yang dekat dengan Menotti, pelatih Argentina saat Piala Dunia 1978. Passarella berada di kubu Menotti, dan friksi menajam. Bahkan Maradona dan Passarella berdebat di depan seluruh pemain, setelah Maradona datang terlambat dalam pertemuan.
Passarella menuduh Maradona telat karena teler kokain. Tuduhan yang tak terbukti. Sementara Passarella ketahuan punya tagihan telepon hotel dua ribu dollar namun tidak mengakuinya, dan akibatnya seluruh tim harus menanggung. Belakangan, Passarella memilih tak bermain dengan alasan ototnya kena tarik.
Maradona jengkel dan menuduh Passarella pengkhianat karena menolak bermain untuk timnas. Namun keluarnya Passarella dari tim membuat suasana kondusif. Tak ada lagi dua kubu yang saling bertentangan. Semua pemain berada di belakang Bilardo.
Namun perjalanan tim ini jauh dari ideal. Mereka bukan favorit, bahkan di mata rakyat Argentina sendiri. Mereka diramalkan bakal terhenti di putaran pertama. Pele, pemain legendaris Brasil, menyebut Michel Platini lebih baik daripada Maradona. “Platini langsung berdiri dan bermain jika dijatuhkan. Maradona tetap duduk dan melihat wasit,” sindirnya.
Maradona tidak suka Platini. Dia menilai, Platini tipe pemain ‘yang berpolitik’ dengan elite sepak bola global di FIFA. Pemain yang berdiri pada dua sisi: sebagai pemain dan ‘politisi sepak bola’. Belakangan Maradona benar: Platini menjadi Presiden UEFA.
“Itulah mengapa saya sangat ingin mengalahkan Platini di lapangan, untuk menunjukkan kepadanya di Meksiko siapa pemain yang lebih baik. Kami adalah rival sejati, karena kami sama-sama memakai nomor punggung 10 dan karena kami sangat berbeda saat sudah melepas kaus,” kata Maradona.
Namun perjalanan Argentina masih panjang dan dipenuhi persoalan. Camp pelatihan tim mengecewakan, dipersiapkan seadanya. Para pemain harus melayani diri mereka sendiri, bahkan untuk mengganti bola lampu. Hanya ada 16 kamar. Padahal ada 22 pemain dalam satu tim ditambah staf pelatih. Bangunannya juga belum selesai.
Anehnya, Bilardo justru suka suasana ini. Dia suka melihat pemain menderita. Sesuatu yang membuat Maradona jengkel. Apalagi Bilardo punya cara ganjil dalam melatih: yakni dengan tidak melatih. Dia melarang para pemain berlatih keras.
Praktis tim Argentina boleh dibilang adalah tim paling anarkis. Hari ini, semua tim sepak bola, baik nasional maupun klub, memiliki spesialis gizi untuk mengatur diet para pemain. Makanan adalah kunci agar pemain tetap bugar. Namun tidak dengan tim nasional Argentina di Meksiko. Para pemain makan pasta dan barbekyu.
“Maka sebab itu saya capek kalau ada yang bilang pemenang Piala Dunia 1986 adalah Bilardo. Bilardo dengkulmu. Pemenang Piala Dunia 1986 adalah para pemain, karena kami tahan terhadap semua omong kosong Bilardo. Karena apa yang Bilardo sukai adalah nelihat pemain menderita. Dan idenya sudah usang, terjebak masa lalu,” kata Maradona.
Pertandingan pertama grup melawan Korea Selatan dimenangi Argentina dengan skor 3-1. Maradona dilanggar sebelas kali oleh pemain lawan, dan wasit diam saja. Namun hari itu, ia mencetak gol pertama di Piala Dunia.
Pertandingan kedua, Argentina bermain imbang 1-1 melawan juara bertahan Italia. Maradona kembali mencetak gol pada menit 34, setelah sebelumnya Italia memimpin melalui gol penalti Alessandro Altobelli. Pertandingan ini mengembalikan kepercayaan diri para pemain Argentina.
Pertandingan terakhir penyisihan Grup A, Argentina mengalahkan Bulgaria 2-0 di tengah siang bolong di Mexico City. Pemain-pemain Bulgaria terlihat gentar. Apalagi di lorong menuju lapangan, para pemain Argentina berteriak seperti orang kesurupan dalam tarian perang. “Ayo kalahkan mereka!”
Argentina harus menghadapi Uruguay pada putaran kedua. Jujur saja, sejak Piala Dunia 1986, saya selalu memiliki stereotipe untuk Uruguay: kasar dan lebih suka memainkan negative football. Stereotipe ini tidak pernah berubah, walau Luis Suarez memperkuat Liverpool, klub kesukaan saya selain Persebaya.
Uruguay di Meksiko bukan tim hebat. Dalam babak penyisihan Grup E, mereka dihajar 1-6 oleh Denmark dan lolos ke babak selanjutnya tanpa sekali pun menang dalam tiga pertandingan. Mereka beruntung mendapat salah satu dari empat jatah peringkat ketiga terbaik dalam klasemen penyisihan.
Namun Uruguay tidak pernah mengecewakan dalam urusan main kasar. Wasit Luigi Agnolin dari Italia mengeluarkan tujuh kartu kuning dalam pertandingan melawan Argentina, empat di antaranya untuk Uruguay.
Maradona mencetak gol dalam pertandingan itu. Namun Agnolin menganulirnya. Beberapa tahun kemudian, Agnolin mengakui jika salah mengambil keputusan. Gol itu seharusnya sah. Argentina menang 1-0 dengan gol yang dicetak Pedro Pasculli.
Pertandingan berikutnya adalah salah satu pertandingan yang paling dikenang dalam sejarah Piala Dunia, bahkan mungkin lebih dikenang daripada pertandingan final Piala Dunia 1986. Argentina melawan Inggris. Ini bukan hanya pertandingan perempat final sepak bola, tapi juga menyangkut gengsi politik. Pers di dua negara membangun tensi pertandingan dengan cerita soal Perang Falklands atau Malvinas.
Maradona menganggap pemerintah Inggris dan Argentina sama-sama bersalah. Dia menolak melibatkan kebencian dalam pertandingan sepak bola. Gary Lineker bukan musuhnya dalam perang. Setelah kalah 0-2, para pemain Inggris dengan jantan memberikan selamat dan mendatangi ruang ganti pemain Argentina untuk bertukar kaus.
Perang Malvinas memang memotivasi Maradona. Namun motivasi itu datang bukan dari kekalahan, tapi dari keinginan untuk menghormati kenangan terhadap para prajurit yang gugur. “Saya ingin memberikan kelegaan pada keluarga dari para prajurit itu, dan untuk menghapus Inggris peta dunia — peta sepak bola dunia. Mengeliminasi mereka dari Piala Dunia di perempat final pun seperti memaksa mereka untuk menyerah. Itu adalah pertempuran, tapi di medan tempur saya,” katanya.
Dan Maradona membuktikannya. Ia menyingkirkan Inggris dengan cara yang sangat menyakitkan sekaligus indah dalam waktu bersamaan. Setelah gol pertama diciptakannya dengan tangan kiri, dia meliuk-liuk melewati enam pemain Inggris sebelum mencetak gol kedua ke gawang Peter Shilton.
Maradona tak pernah menyesal mencetak gol dengan tangan. Ia bahkan menuntut sebuah berita media massa Inggris yang memasang judul ‘Maradona Minta Maaf’, dan ia menang.
Saat Lineker datang ke Buenos Aires, Argentina, dan mewawancarainya, Maradona mengungkapkan alasan pemilihan frase ‘Tangan Tuhan’. “Karena Tuhan memberi kita tangan. Dia membantu kita. Karena wasit dan hakim garis tidak menyaksikannya, sesuatu yang jarang terjadi. Itu sebabnya saya berkata itu adalah tangan Tuhan.”
Maradona mengakui gol kedua akan lebih susah dicetaknya saat melawan Italia, Uruguay, atau Brasil. “Lebih mudah karena pemain Inggris lebih baik hati dan jujur di lapangan,” katanya.
Lineker ingin memberikan tepuk tangan saat itu begitu Maradona mencetak gol kedua. Dia tidak melakukannya tentu saja. Tidak bisa. Namun 34 tahun kemudian, semua pertandingan Liga Primer Inggris pada pekan ke-10 diawali dengan tepuk tangan selama satu menit dari para pemain, ofisial pertandingan, dan ofisial tim yang bertanding.
Dua pertandingan tersisa adalah sejarah. Argentina mengalahkan Belgia 2-0 dalam semifinal. Ini tim terbaik Belgia sepanjang sejarah. Namun Maradona membuat mereka tak berdaya dengan dua golnya pada menit 52 dan 63. “Jika Maradona bermain untuk kami, kami pasti menang 2-0,” kata Guy Thys, pelatih Belgia.
Jerman Barat menanti Maradona di final, dan mereka lawan yang pantas bagi Argentina. Dua gol Jose Luis Brown dan Jorge Valdano untuk Argentina dibalas dua gol Rummenigge dan Voller. Umpan terobosan Maradona membuat Burruchaga menguburkan bola ke sudut gawang Schumacher.
Maradona tidak berpolitik dalam sepak bola. Ia musuh abadi FIFA. Namun dia tak pernah ragu menunjukkan keberpihakan dan ideologi politiknya. Hanya sedikit pemain sepak bola yang demikian. Socrates, pemain Brasil, salah satunya.
Saat melangkah di balkon Casa Rosada, Istana Kepresidenan, Maradona merasa seperti Juan Domingo Perón yang menyapa ribuan warga di bawah sana. “Saya telah menjadi seorang Peronis sepanjang hidup saya dan saya akan mati sebagai seorang Peronis, karena ibu saya dan karena Evita. Dalam masyarakat kami yang seksis, semua orang membicarakan Perón, tapi Evita adalah wanita yang hebat. Wanita, seperti mantan presiden Cristina Kirchner, melakukan hal-hal hebat. Itu sebabnya saya mendukung nya. Saya suka Peronisme, dan jika saya memutuskan untuk terjun ke dunia politik suatu hari nanti, itu akan menjadi partai saya.”
Dan 30 tahun berlalu dari saat Maradona berdiri di balkon itu, Argentina belum memenangi Piala Dunia lagi. “Saya pun sadar apa artinya buat rakyat Argentina,” katanya.
Dan Maradona pun pergi bersama kegemilangannya untuk dikenang.
* Artikel ini pernah tayang di beritajatim.com