Jakarta (pilar.id) – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai, pemerintah over acting dan lebay dengan mendesak SPBU Vivo untuk menaikkan harga bahan bahar minyak (BBM) yang mereka jual. Jaringan SPBU Vivo yang berada di bawah bendera PT Vivo Energy Indonesia itu, menjual bensin dengan harga lebih murah dibanding milik Pertamina, yaitu Rp8.900 per liter untuk jenis BBM Revvo 89.
“Masa harganya masih lebih mahal daripada harga BBM di SPBU swasta,” kata Mulyanto, di Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Namun, tak berselang lama, Vivo kembali menaikkan harga BBM jenis Revvo 89-nya menjadi Rp10.900 per liter. Menurutnya, pemerintah tidak berhak dan berwenang mengatur harga bawah BBM non subsidi dari operator swasta.
Apalagi, harga BBM yang murah ini tentu sangat menguntungkan masyarakat di tengah harga BBM subsidi pertalite RON 90 yang seharga Rp10.000 per liter. Mulyanto meminta pemerintah membuka data harga pokok produksi (HPP) BBM bersubsidi yang berlaku selama ini.
Ia merasa ada yang aneh terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. “Karena pada saat yang sama harga BBM non subsidi di Pertamina, Shell dan Vivo malah diturunkan, menyusul anjloknya harga minyak dunia,” ungkapnya.
Untuk BBM jenis Revvo 89 yang harga sebelumnya Rp9.290 per liter turun menjadi Rp8.900 per liter. Akibatnya masyarakat menyerbu SPBU Vivo. Melihat perbedaan harga jual tersebut Mulyanto meminta pemerintah memberikan penjelasan.
“Ini kan janggal. Pemerintah harus dapat menjelaskan berapa harga pokok produksi (HPP) Pertalite ini yang sebenarnya,” kata Mulyanto.
Kalau pemerintah benar-benar objektif menghitung harga pokok produksi dan harga keekonomian BBM, semestinya tidak ada alasan untuk menaikkan harga BBM jenis apapun. Karena harga minyak dunia terus anjlok hingga USD 89 per barel.
“Selisih harga ini pasti akan menimbulkan pertanyaan dari masyarakat,” kata Mulyanto.
Pemerintah dan DPR, lanjut Mulyanto, sudah sepakat menetapkan asumsi makro harga minyak dunia sebesar USD 100 per barel. Artinya, fluktuasi harga minyak dunia masih dalam batas kemampuan anggaran negara.
“Dengan demikian pemerintah tidak punya alasan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi,” kata politikus PKS ini.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI Slamet melihat, strategi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam menjaga stabilitas keuangan hanya dengan mengandalkan dua cara, yaitu menambah utang dan menaikkan harga BBM. Padahal masih banyak pembangunan infrastruktur bisa ditunda pembangunannya seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), kereta cepat, serta kegiatan lain yang belum prioritas.
“Pemerintah saat ini sangat tidak peka. Sudah tahu keadaan global sedang tidak stabil malah tetap fokus membangun IKN dan infrastruktur lainnya. Padahal uangnya bisa digunakan untuk menambal subsidi yang ada,” jelasnya. (Akh/din)