Jakarta (pilar.id) – Tiga perempuan Indonesia hadiri konferensi Global Women’s Coalition for Quds and Palestine di Istanbul, Turki. Kegiatan tersebut berlangsung selama dua hari, Jumat-Sabtu (27-28 Mei 2022).
Mereka hadir dalam rangka memberikan dukungan bagi perjuangan bangsa Palestina, terutama kaum perempuan. Gerakan pro-Palestina telah membuat semua pihak memposisikan diri dalam mengambil sikap politik serta ekonomi untuk membela hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri.
Ketiga perempuan tersebut adalah Ketua Bidang Perempuan DPN Partai Gelora Ratih Sanggarwati, Ketua Bidang Gaya Hidup Hobi dan Olahraga (Gahora) Kumala Kartini, serta Wakil Bidang Perempuan Sarah Handayani. Ratih mengatakan, perjuangan menuju kebebasan Palestina adalah isu kemanusiaan yang perlu dukungan banyak pemimpin negara.
Menurut Ratih, konferensi ini dihadiri oleh perempuan dari berbagai negara di dunia yang mendukung perjuangan bangsa Palestina di negaranya masing-masing. “Kami mendesak negara-negara Arab dan muslim untuk mengambil peran mereka dalam melindungi Yerusalem dan kiblat pertama,” ujarnya.
Konferensi ke-7 Global Women’s Coalition for Quds and Palestine, lanjut Ratih, menyepakati terbentuknya Koalisi Global untuk Quds dan Palestina (GCQP). Tujuan acara ini adalah untuk mengikuti perkembangan isu terakhir Al-Quds dan menguatkan koalisi untuk kemerdekaan Palestina yang sudah terbilang dua dekade.
Ia menilai kemerdekaan Palestina memerlukan arah baru perjuangan untuk perluasan dukungan dan jejaring dari seluruh negara. “Kita perlu memberikan atensi dan arah baru perjuangan bangsa Palestina,” ujar Ratih.
Sementara itu, Sekretaris Koalisi GCQP Sana menegaskan, Israel telah banyak melanggar protokol Konvensi Jenewa yang menuntut kekuatan pendudukan untuk menghormati kebebasan penduduk Palestina. Perempuan Palestina lulusan Melbourne Australia ini juga berharap konferensi akan melahirkan peran koalisi dan perluasan jejaring perempuan ke seluruh dunia untuk membela perjuangan bangsa Palestina.
“Persoalan kemerdekaan Palestina, bukan hanya persoalan terbatas orang Arab, tapi persoalan kemanusiaan,” kata Sana. (Ach/din)