Surabaya (pilar.id) – Aksi peretasan Bjorka jadi pembicaraan serius di dunia maya. Banyak yang beranggapan bahwa yang dilakukan Bjorka merupakan bentuk dari protes atau demonstrasi modern.
Namun, tidak sedikit pula yang mengecam tindakan penyebaran data pribadi yang dilakukan oleh Bjorka.
Menanggapi hal ini, pakar komunikasi digital Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Prof Dra Rachmah Ida MCom PhD mengatakan, peretasan Bjorka bukanlah bentuk protes atau demonstrasi modern.
Ia menegaskan, fenomena peretasan itu sudah terjadi di dunia internasional sejak lama. “Kita ingat ada Julian Assange, pendiri WikiLeaks, yang membocorkan rahasia-rahasia Gedung Putih,” katanya.
Yang dilakukan Julian Assange, tambah Rachmah Ida, ternyata membuka mata dunia. Muncul pemahaman apabila data tidak secure akan mudah di-hack.
“Jadi, fenomena Bjorka ini adalah fenomena hacking,” tegas dosen media dan komunikasi politik itu.
Ia kemudian mengingatkan, kebocoran data para pejabat tinggi Indonesia membuktikan bahwa data security di Indonesia masih sangat lemah.
Menurutnya, kasus E-KTP yang pada akhirnya dikorupsi menunjukkan keamanan data pribadi tidak bisa dijaga dan dijamin oleh negara.
“Jadi, ini bukan bentuk demonstrasi. Demonstrasi artinya menyuarakan kepentingan kelompok atau masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat,” imbuhnya.
Demonstrasi, ucap Prof Rachmah, dijamin dalam negara demokrasi dan termaktub dalam First Amendment, yaitu berupa freedom of speech. Ia menegaskan peretasan Bjorka adalah cyber crime.
Prof Rachmah menuturkan, cyber law memang melarang hacking, scam, cyber crime, cyber bully, dan sebagainya.
Tetapi, apabila ada orang menyuarakan aspirasinya harus dihargai karena hak tersebut dijamin undang-undang.
Namun, ia menyayangkan UU ITE saat ini justru dijadikan penjerat bagi orang-orang yang tidak terima dengan kebebasan berpendapat orang lain.
“Teknologi digunakan untuk menyampaikan aspirasi itu sah-sah saja. Kita boleh mengkritik, tetapi tidak boleh bersifat personal. Misalnya, mengatai orang jelek, gemuk, dan lain-lain. Itu namanya diskriminasi. Kalau mengkritisi pelayanan publik suatu institusi ya boleh,” terangnya.
Prof Rachmah lantas menjelaskan jika sistem demokrasi di Indonesia tidak sama dengan sistem demokrasi di negara-negara lain yang lebih maju.
Dicontohkan, di Amerika Serikat, orang-orang seperti Bjorka pasti akan dibiarkan karena sistem demokrasi mereka sudah established serta literasi politik dan demokrasi masyarakatnya sudah tinggi.
“Bjorka menulis kritikan di Twitter, kemudian di-suspend oleh pemerintah Indonesia. Ini memang tidak baik, tetapi Indonesia masih mencari bentuk demokrasi. Maka hal-hal semacam yang dilakukan Bjorka ini dianggap melanggar,” tutupnya. (jel/hdl)