Surabaya (pilar.id) – Perusahaan Cina, Betavolt, tengah membuat gebrakan dengan merencanakan peluncuran baterai nuklir yang dapat bertahan selama 50 tahun pada tahun 2025.
Berita ini sedang menjadi sorotan utama masyarakat karena potensinya untuk memberikan dampak besar pada industri energi global.
Betavolt, dengan rencananya yang ambisius, tidak hanya mencerminkan keahlian teknologi tinggi Cina tetapi juga menegaskan komitmennya untuk terus mencari solusi energi berkelanjutan.
Baterai Nuklir BV100 oleh Betavolt
Baterai atom yang dibuat oleh Betavolt ini dinamai BV100 dengan dimensi 15mm ⋅ 15mm ⋅ 5mm. Meskipun ukurannya kecil, perusahaan Cina tersebut mengklaim bahwa baterai ini memiliki daya sebesar 100 mikrowatt dengan tegangan 3 volt.
Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa baterai nuklir ini dapat bertahan selama 50 tahun tanpa perlu diisi ulang dan bebas pemeliharaan.
Menanggapi isu ini, Tahta Amrillah SSi Msc PhD, Dosen Rekayasa Nanoteknologi Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangan mengenai efisiensi material dalam produksi baterai.
Dia menjelaskan bahwa untuk menciptakan perbedaan potensial yang signifikan antara anoda dan katoda, diperlukan efisiensi material yang optimal.
Perbedaan potensial ini adalah kunci dalam menghasilkan daya listrik. Tahta juga menyoroti bahwa nuklir, sebagai material dengan mobilitas elektron yang luar biasa, memiliki potensi besar untuk menghasilkan daya listrik berkualitas tinggi.
“Baterai yang awalnya mengalami pengisian daya memiliki elektrolit yang netral. Ketika material nuklir digunakan dalam baterai, material tersebut akan mengalami perubahan deplecion yang besar. Hal ini membuat material nuklir tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk habis, sehingga baterai nuklir dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama,” ungkapnya.
Tahta juga menyadari bahwa, meskipun memiliki potensi besar dalam baterai, nuklir membawa risiko radiasi yang berbahaya dengan panjang gelombang gama yang sangat kecil.
Dalam fisika, panjang gelombang yang kecil berarti energi yang besar. Meskipun begitu, risiko radiasi nuklir dapat diatasi dengan menggunakan teknologi perisai (shielding).
“Terdapat teknologi perisai saat ini yang mampu menyerap gelombang. Ketidakamanan terkait radiasi muncul saat material ini rusak dan dibuang, sehingga menyebabkan radiasi lepas,” jelas Tahta.
Keefektifan perisai, lanjut dia, sangat menentukan keamanan material nuklir. Material seperti besi oksidan mampu menyerap gelombang besar, sementara tembaga mampu menyerap gelombang yang lebih kecil.
“Secara umum, ada material khusus yang dapat menyerap gelombang sangat kecil, seperti gelombang gama,” imbuh Tahta.
Dalam implementasinya, nuklir memerlukan perlakuan khusus untuk menghindari potensi dampak berbahaya.
Dikatakan, pemahaman mendalam mengenai teknologi nuklir sangat penting bagi masyarakat, terutama di Indonesia, mulai dari komponen yang terkandung hingga dampak yang mungkin timbul. (hdl)