Cirebon (pilar.id) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan United Nations Population Fund (UNFPA) mengunjungi Kabupaten Cirebon, salah satu dari empat daerah di Indonesia yang jadi pilot project penguatan kapasitas daerah untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (KBG).
Termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dan praktik-praktik berbahaya bagi perempuan dan anak seperti perkawinan anak serta Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Pilot project lainnya adalah DKI Jakarta, Kota Palu, dan Kabupaten Sigi.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari menyampaikan bahwa Kabupaten Cirebon memiliki praktik baik sebagai pemerintah daerah yang mempunyai amanat melaksanakan program dan kegiatan dalam upaya terbaik penanganan KBG.
Terkait praktik perkawinan anak dan sunat anak perempuan serta praktik berbahaya lainnya yang berdampak bagi perempuan dan anak, banyak hal yang sudah dilakukan Kabupaten Cirebon ini dengan melibatkan masyarakat termasuk forum anak.
“Terdapat praktik yang sangat progresif yang dilakukan di Kabupaten Cirebon, diantaranya oleh Fahmina Institut, yang merupakan salah satu jaringan ulama perempuan di Kabupaten Cirebon yang kuat mendukung pemerintah dalam penanganan kekerasan berbasis gender melalui kajian keagamaan yang diperkaya dengan pandangan Islam,” jelas Rohika.
Marzuki Rais Manager Islam dan Demokrasi menjelaskan bahwa Fahmina merupakan lembaga masyarakat yang bekerja berbasis pesantren. Fahmina bergerak dalam isu-isu islam demokrasi dan islam gender dengan mengadvokasikan Isu-isu penguatan komunitas, demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan keadilan gender dengan berbasis tradisi pesantren.
Khusus mengenai keadilan gender, Fahmina juga mengadvokasi dan melakukan pendampingan kepada buruh migran agar menjadi buruh migran yang aman dengan perspektif agama.
Marzuki menambahkan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-1, yang diselenggarkan di Pesantren Al-Islamy, Kebun Jambu, Cirebon, terdapat 9 isu yang penting dibahas diantaranya kekerasan seksual, alam, pendidikan Perempuan, dan perkawinan anak.
Pertemuan KUPI bertujuan untuk membuat rekomendasi atau pandangan yang menghasilkan fatwa berdasarkan isu-isu yang muncul di tingkat akar rumput. KUPI menjembatani pesantren dengan aktivis di lapangan terkait isu-isu di masyarakat, khususnya perempuan dan anak sampai tingkat akar rumput.
Selain itu, praktik progresif juga dilakukan oleh salah satu pesantren besar di Cirebon, yang memiliki 1800 santri terdiri dari 1100 santri laki-laki dan 700 santri perempuan, yaitu pesantren Al-islamy, Kebun Jambu, Cirebon, yang dipimpin seorang perempun, Nyai Masriyah Amva sebagai salah satu agen perubahan di pesantren.
“Adanya kepeminpinan perempuan di pesantren ini mampu mengubah cara pandang yang kuat dalam budaya patriarki di pesantren,” jelas Rohika.
Rohika juga mengungkapkan bahwa melalui pesantren dapat dilakukan penanganan kekerasan berbasis gender. Salah satunya untuk menurunkan angka perkawinan anak dan melakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui para santri, yang juga menjadi agen perubahan untuk memperkuat kabupaten Cirebon.
Cirebon akan memiliki sistem pembangunan dalam sistem perencanaan berkelanjutan yang dampaknya diharapkan dapat mewujudkan pembangunan anak berkualitas kedepan. Dengan terpenuhihnya hak anak melalui kabupaten kota layak anak diharapkan ke depan tidak ada lagi kekerasan, diskriminasi dan penelantaran.
Bupati Cirebon, Imron, optimis program ini akan sukses bila ada dukungan pendampingan dan penyuluhan baik dari pemerintah pusat maupun daerah terhadap masyarakat.
Pada pertemuan di Pendopo Bupati Cirebon, yang juga dihadiri oleh Dinas PPKBP3A Kabupanten Cirebon, Ketua P2TP2A, Dinas Kesehatan, Bappeda, Pengadilan Agama Sumber, KUA, Tim Kemen PPA, dan Tim UNFPA, Imron juga menyampaikan keberpihakan pemerintah terhadap perempuan sudah dilakukan diantaranya melalui 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik dan penggerak perempuan.
Kesadaran perempuan harus terus-menerus ditingkatkan dan diperlukan pendampingan yang berkelanjutan. Sementara itu, Kasus perkawinan anak yang masih tinggi di Kabupaten Cirebon dan beberapa daerah lainnya seperti Indramayu, Cianjur, dan Sukabumi karena faktor ekonomi dan kemiskinan masih menjadi PR bersama yang juga memerlukan pembinaan terus-menerus.
Dalam penanganan kekerasan berbasis gender, Kabupaten Cirebon telah memiliki peraturan Bupati Cirebon Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak, KUA kabupaen Cirebon sejak 2017 telah memiliki program bimbingan perkawinan selama dua hari.
Kemudian Program penurunan angka kematian Ibu dan bayi sebagai program prioritasnya. Kabupaten Cirebon juga menguatkan pelayanan dan penanganan kasus kekerasan dengan mewajibkan tenaga medis menjadi informan bila ada kasus kekerasan terhadap perempuan. Hingga saat ini, Kabupaten Cirebon telah memiliki 60 Puskesmas Ramah Anak dan aktif dalam pencegahan praktik Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP).
Selanjutnya, Kepala Perwakilan UNFPA di Indonesia, Anjali Sen menerangkan bahwa UNFPA merupakan agensi PBB yang fokus pada kesehatan reprodukisi dan kependudukan. UNFPA bekerja dengan mandat kelahiran direncanakan dan setiap bayi lahir selamat serta potensi setiap anak muda harus diutamakan . UNFPA telah menjalin kerjaama dengan pemerintah RI sejak Tahun 1972.
“Ini adalah Siklus ke 10, kerjasama UNFPA dengan pemerintah RI dan Kemen PPPA adalah salah satu mitra di bawah koordinasi Bapenas. UNFPA Bekerja dengan 3 zero: Zero angka kematian ibu, kematian dari kelahiran yg direncanakan, serta kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya. Dengan target kerja yaitu kelompok yang rentan dan termarginalkan, sebagaimana tujuan dalam Sdgs, yaitu tidak satupun yang tertinggal,” ungkap Anjali.
Anjali juga menjelaskan, Cirebon menjadi salah satu pilot dalam meningkatkan layanan terkait kekerasan berbasis gender. Dalam kerjasama sebelumya, telah menghasilkan layanan one stop service di daerah untuk perempuan korban kekerasan.
Harapannya, Bapak Bupati dan Ibu Bupati selaku Ketua P2TP2A dapat melanjutkan kerja-kerja selanjutnya dalam layanan P2TP2A yang inklusif dan komprehensif dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan. (usm)